goresan hidup seorang biduan

Selasa, 23 Maret 2010

Olahraga Sebagai Terapi

Selama ini, olahraga lebih dikenal untuk meningkatkan kebugaran. Padahal,
olahraga masih punya fungsi yang tak kalah penting, yaitu sebagai terapi atau pengobatan.
Olahraga sebagai terapi atau salah satu faktor penunjang pengobatan, telah berkembang.
Namun, hal ini sebenarnya bukan hal baru karena olahraga bersama pola makan telah sering
dimasukkan dalam terapi awal program penyembuhan. Pada penderita kencing manis dan
hipertensi ringan, misalnya, yang paling baik adalah pengaturan makan dan olahraga sebelum
akhirnya harus menggunakan obat. Di kalangan medis sendiri, olahraga sebagai terapi
memang memang belum terlalu populer.
"Biasanya dokter menyarankan pasiennya berolahraga tetapi tidak dapat menjelaskan lebih
lanjut bentuk olahraganya apa, atau dosisnya bagaimana," jelas Dr. Imran Agus Nurali, Sp.KO
Ia menjelaskan, olah raga memiliki resiko, misalnya cedera. Seperti terapi dengan obat, dosis
olahraga juga harus diketahui pasti. Jika kurang, maka olah raga jadi tidak bermanfaat.
Sebaliknya jika berlebihan dapat mengakibatkan risiko cedera.
Penyakit yang biasa diterapi dengan olahraga adalah obesitas, kencing manis, hipertensi,
asma, dan rematik. Tujuan terapi dengan olahraga ini untuk mengurangi penggunaan obat-
obatan untuk kasus-kasus yang memang bisa tanpa obat, memperkecil pengunaan obat, dan
tak mustahil dapat menyembuhkan. Menurutnya, ada kasus penderita hipertensi sedang yang
akhirnya tekanan darahnya menjadi normal, Hal yang sama juga pernah terjadi pada pasien
kencing manis. Ia mengakui, untuk terapi memang memerlukan waktu yang lama, namun
yang terpenting adalah disiplin.
Dengan olahraga, penggunaan insulin dan metabolisme energi penderita kencing manis akan
lebih efisien. Pada penderita hipertensi dan penyakit jantung, olahraga dapat mengurangi
kekakuan pembuluh darah dan meningkatkan daya tahan jantung serta paru-paru. Olahraga
pada penderita obesitas akan meningkatkan pembakaran lemak di tubuh. Penderita asma
akan diuntungkan karena otot pernapasannya diperkuat, begitu juga dengan daya tahan
jantung parunya; penggunaan oksigen akan meningkat, dan asmanya tak sering kambuh lagi.
Pada penderita rematik, olahraga ditujukan untuk mengurangi kekakuan otot dan sendi.
Tapi, jangan salah. Olahraga sebagai terapi bukan sekadar joging setiap hari Sabtu, atau naik
sepeda keliling kompleks perumahan. Semuanya harus diatur, baik tempo olahraga, tipe
olahraga, variasi, dan gerakan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh. Misalnya,
penderita obesitas tidak boleh melakukan joging dan gerakan yang membebani sendi lutut
dan panggul. Dokter olahraga akan melatih dulu gerakan dan hitungannya.
"Supaya mudah, dimulai dengan dosis kecil dahulu," kata Imran.
Sebelum menentukan olahraga yang tepat untuk pasien, perlu dilakukan pemeriksaan untuk
mengetahui hal berikut, Jenis penyakit. Misalnya penderita hipertensi tidak boleh melakukan
latihan beban, maka dipilih berenang, atau senam low impact.
Jenis keparahan penyakit. Misalnya untuk penderita hipertensi berat, justru tidak boleh
melakukan olahraga. Karena jika tekanan darahnya naik sedikit saja, bisa berbahaya. Umur.
Olahraga untuk anak dan dewasa tentu berbeda. Tinggi dan berat badan. Untuk penderita
obesitas perlu mengetahui BMI (Body Mass Index) dan persentase lemak sehingga diketahui
jumlah berat badan yang harus diturunkan.
Tingkat kebugaran pasien. Sebelum menetapkan jenis olahraganya, dilakukan pemeriksaan
fisik. Hal ini penting karena tiap orang berbeda tingkat kebugarannya. Jika tingkatnya masih
rendah, maka intensitas olahraga yang diberikan juga rendah. Begitu juga dengan frekuensi.
Jika normalnya tiga kali seminggu, untuk yang tingkatnya masih rendah, mungkin hanya dua
kali. Intensitas, frekuensi dan waktunya, dapat ditingkatkan sesuai dengan respon yang
diberikan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu, Health and skill related fitness: unsur-unsur
kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan, merupakan syarat minimal agar orang bisa
hidup sehat dan tidak mudah terkena penyakit. Variabelnya adalah komposisi tubuh berupa
persen lemak, kekuatan jantung paru, fleksibilitas sendi, dan kegiatan otot.
Posturity Rating Scale (skala kesejajaran tubuh) sebagai pemeriksaan penunjang. Tubuh
punya keseimbangannya sendiri, misalnya jika dilihat dari samping, ada ketidakseimbangan
ke kanan, karena lebih sering memakai yang kanan. Pada dasarnya tubuh manusia harus
dalam keadaan balance.
Pemeriksaan fisik umum: nadi istirahat, tekanan darah, kekuatan jantung paru Setelah terapi
selama sebulan, pasien perlu dikontrol. Di sini dilihat perubahan yang terjadi, dan kedisiplinan
pasien. Imran menyarankan, sebaiknya olahraga dilakukan berkelompok sehingga lebih
termotivasi. Namun, pembentukan kelompok ini juga harus diatur dokter yang kompeten.
Ia mengungkapkan, anggota kelompok adalah orang dengan keperluan sejenis, dan setingkat.
Misalnya, hipertensi ringan semua. Tingkat kebugaran jasmaninya harus sama. Jika beda
level, maka bisa saja malah bukan mengobati malah membuat yang tidak setingkat makin
sakit.
Pada bulan kedua, dilakukan kontrol kembali. Jika semuanya baik, ada peningkatan, dan
disiplin, maka kontrol dilakukan tiga bulan ke depan. Jika benar-benar telah baik, kontrol bisa
dilakukan enam bulan atau setahun sekali.
Dari segi biaya, melakukan terapi dengan olahraga lebih murah. Ini investasi yang cukup
besar untuk kesehatan. Hanya, hasilnya tidak didapat dalam waktu singkat. Maka, sebelum
melakukan olahraga sebagai terapi, harus dipastikan bahwa pasien bersedia mengikuti
program secara lengkap dan disiplin.
"Tak semua orang menyukai olahraga. Tanpa motivasi, akan sulit sekali bagi untuk mulai
berolahraga. Selain itu, karena murah, kadang orang justru meremehkan arti olahraga.
Mereka tidak merasa mengeluarkan uang seperti jika membeli obat, sehingga tidak merasa
rugi jika tidak melakukan olahraga. Maka kami harus mengingatkan jika olahraga tidak
dilakukan, banyak manfaat yang akan hilang," ungkap Imran. (to/hm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar