goresan hidup seorang biduan

Selasa, 23 Maret 2010

Mie, Enak Tapi Rawan Formalin

Mie memang makanan yang paling praktis dan enak untuk disantap. Tapi, siapa
duga bila di dalam mie yang sedang disantap itu terdapat formalin dan boraks. Zat kimia yang
bisa membunuh manusia.
Mi pertama kali dibuat dan berkembang di Cina. Teknologi pembuatan mi disebarkan oleh
Marcopolo ke Italia, hingga ke seluruh daratan Eropa. Kini mi populer di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Mi yang beredar di Indonesia terdiri dari empat jenis, yaitu mi mentah,
mi basah, mi kering, dan mi instan. Keempat jenis tersebut mempunyal pasar sendiri-sendiri,
dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Kandungan karbohidrat yang tinggi, menjadikan mi digunakan sebagai sumber karbohidrat
pengganti nasi. Mi dapat diolah menjadi berbagai produk seperti mi baso, mi goreng, soto mi,
mi ayam, dan lain sebagainya.
Seiring perkembangan teknologi dan semakin meningkatnya kesadaran orang akan gizi,
sekarang ini mi tidak hanya dijadikan sebagai penyuplai energi, melainkan juga sebagai
sumber zat gizi lain. Berbagai vitamin dan mineral dapat difortifikasikan ke dalam mi. seperti
yang sering dijumpai pada pembuatan mi instan.
Walaupun demikian, kecukupan zat gizi belum dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan
sebungkus mi. Masih diperlukan kombinasi dengan sayuran dan sumber protein lain guna
mendongkrak kelengkapan komposisi gizi ini. Berdasarkan kandungan gizinya, mi merupakan
bahan pangan yang berpotensi besar untuk dijadikan sebagai produk diversifikasi. Kandungan
gizi mi sudah dapat mencukupi sebagai pengganti beras.
Sebungkus mi instan yang beratnya 75 gram (lengkap dengan minyak dan bumbu), serta
ditambah dengan sayuran dan protein dari luar, dapat diandalkan untuk sarapan pagi. Untuk
makan siang, porsinya perlu dinaikkan menjadi dua bungkus.
Terdapat beberapa kelemahan dalam produk-produk mi. Umumnya mi sedikit sekali
mengandung serat (dietary fiber) serta vitamin B dan E. Komposisi bahan mi instan
belakangan ini sudah semakin komplet. Beberapa merek mi instan telah dilengkapi dengan
serat, sedikit sayuran, dan irisan daging kering, serta vitamin B dan E. Namun, tetap saja
perlu menambahkan bahan-bahan lain dari luar, terutama sayuran dan sumber protein, agar
nilai gizinya menjadi semakin baik.
Sayangnya, tingkat pengetahuan yang rendah mengenai bahan pengawet merupakan faktor
utama penyebab penggunaan formalin dan boraks pada mi. Beberapa survei menunjukkan,
alasan produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet karena daya
awet dan mutu mi yang dihasilkan menjadi lebih bagus, serta murah harganya, tanpa peduli
bahaya yang dapat ditimbulkan.
Hal tersebut didukung perilaku konsumen yang cenderung untuk membeli makanan yang
harganya murah, tanpa mengindahkan kualitas. Dengan demikian, penggunaan formalin dan
boraks pada mi dianggap hal biasa. Sulitnya membedakan mi biasa dan mi yang dibuat
dengan penambahan formalin dan boraks, juga menjadi salah satu faktor pendorong perilaku
konsumen tersebut. Deteksi formalin dan boraks secara akurat hanya dapat dilakukan di
laboratorium dengan menggunakan bahan-bahan kimia, yaitu melalui uji formalin dan uji
boraks.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan bagi produsen dan
konsumen tentang bahaya pemakaian bahan kimia yang bukan termasuk kategori bahan
tambahan pangan. Selain itu, diperlukan sikap pemerintah yang lebih tegas dalam melarang
penggunaan kedua jenis pengawet tersebut pada produk pangan.
Mi basah digunakan untuk produk makanan seperti mi baso, mi soto bogor, mi goreng,
ataupun pada pembuatan makanan camilan. Kadar air mi basah tergolong tinggi, sehingga
daya awetnya rendah. Penyimpanan mi basah pada suhu kamar selama 40 jam menyebabkan
tumbuhnya kapang.
Untuk itu, dalam pembuatan mi basah diperlukan bahan pengawet agar mi bisa bertahan lebih
lama. Mungkin karena faktor ketidaktahuan banyak produsen yang menggunakan formalin
atau boraks sebagai pengawet. Selain memberikan daya awet, kedua bahan tersebut juga
murah harganya dan dapat memperbaiki kualitas mi. Menurut beberapa produsen,
penggunaan boraks pada pembuatan mi akan menghasilkan tekstur yang lebih kenyal.
Sementara itu, penggunaan formalin akan menghasilkan mi yang lebih awet, yaitu dapat
disimpan hingga 4 hari.
Laporan Badan POM tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 29 sampel mi basah yang dijual di
pasar dan supermarket Jawa Barat, ditemukan 2 sampel (6,9 persen) mengandung boraks, 1
sampel (3,45 persen) mengandung formalin, sedangkan 22 sampel (75,8 persen)
mengandung formalin dan boraks. Hanya empat sampel yang dinyatakan aman dari formalin
dan borak.
Isu penggunaan formalin dan boraks tentu saja sangat meresahkan masyarakat. Kedua bahan
tersebut jelas-jelas bukan termasuk kategori bahan tambahan pangan (food additives),
sehingga sangat dilarang penggunaannya pada pangan apa pun. Kedua bahan tersebut
dilarang penggunaannya karena bersifat racun terhadap konsumennya.
Pemakaian formalin pada makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia.
Gejala yang biasa timbul antara lain sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah,
mencret berdarah, timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah.
Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang),
haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir dengan
kematian Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam
waktu 3 jam.
Boraks juga dapat menimbulkan efek racun pada manusia, tetapi mekanisme toksisitasnya
berbeda dengan formalin. Toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak
langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh
tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak, atau testis (buah zakar), sehingga
dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi.
Pada dosis cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-
pusing, muntah, mencret, dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam
tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa,
kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 - 20 g atau lebih. (to/kmp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar