goresan hidup seorang biduan

Kamis, 27 Desember 2012

Tanggal Tua, Rajin Ibadah





Tanggal udah tua , Gajian masih lama, Nafsu shopping yang tertukut untuk beli ini - beli itu terus menggoda, sementara duit udah CEKAK. Angka harapan hidup pun tinggal menghitung hari. Solusi minjem duit kayaknya gak mungkin, berhubung hutang yang kemarin aja belum lunas. Solusi terakhir sekaligus solusi paling sakral adalah PUASA.

Ya itulah salah satu sekelumit masalah yang sering dialami oleh manusia, yaitu Timpangnya Kondisi Bokek dengan Kebutuhan Hidup yang menggunung, dan secara kebetulan kejadian mengenaskan kayak gitu menimpa penulis sendiri.

Tapi mbok yaa kalau dipikir-dipikir, setiap masalah memang selalu ada hikmahnya, maksudnya bukan hanya kondisi Bokek memotivasi seseorang buat puasa, kayak yang dialami penulis. Bukaaannn,,Bukan cuma itu maksudnya. Pokoknya semua masalah, contohnya saat kehilangan sesuatu yang kita senangi bisa menyadarkan kita akan pentingnya ia, yang efek nya bisa membuat kita lebih protektif untuk bisa merawatnya dengan lebih baik. Pelajaran ini juga diambil dari pengalaman penulis sendiri yang udah kehilangan Handphone lebih dari tiga kali, wihh keren dahh..

Yuk merenung lagi... Tidak bisa disangkal kalau Tuhan itu sangat sayang sama hambanya, ya Dia lah Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Cuma saja hambanya kadang terlalu bodoh untuk bisa mengartikan kasih sayangnya. Saat dikasih harta yang banyak, ya dia mah lupa, doyan nya poya-poya, tuh harta dipake sesuai kehendak nafsunya doank, di pake judilah, dipake minumlah, maen wanita lah, dan macem-macem lagi tu bentuk kesenangan dunia. Ehh...pas tu kelimpahan harta dicabut baru lah dia nyadar..mulai dah sesenggukan nangis di atas sajadah..minta ini dan minta itu lagi. Yaa.. emang si masih mending kalau dibandingin sama hambanya yang gak nyadar sama sekali. Tapi kan alangkah lebih baiknya lagi kalau sewaktu harta berlimpah, tu harta dipake buat yang bernilai dan berbobot pahala.

Kembali lagi kita nyoal puasa…Puasa itu salah satu ritual sakral yang hanya dilakukan karena Allah semata. Nah…Sekarang kita puasa, tapi puasa nya lebih dikarenakan untuk penghematan uang ? Apakah puasa seperti itu bisa dikategorikan puasa yang ikhlas karena Allah ? jawaban menurut penulis WHY NOT, MENGAPA TIDAK. Maksudnya niatan kita untuk puasa saja itu sudah dapet pahala, sampe situ aja dulu. Kita jangan terlalu muluk2 untuk menjadi hamba yang ikhlas terlebih dahulu, sementara puasanya kagak. Ya mendingan kita puasa dengan iming-iming pahala, ntar masalah ikhlas timbul sendiri kalau sudah terbiasa. Yang namanya manusia punya keinginan, ya itu manusiawi lah. Lagian juga apalah arti adanya do’a kalau memang manusia tak punya keinginan. Bukankah Tuhan menyediakan Do’a sebagai sarana permintaan hamba kepada tuhannya. Itu tandanya kalau Tuhan itu ngerti kalau manusia itu emang banyak maunya. Jadi intinya, kalau mau ibadah ya langsung aja praktek, jangan terlalu muluk mikirin soal hati yang ikhlas atau kagak, itu mah belakangan. Kalau udah terbiasa bakalan ikhlas dengan sendirinya, bahkan tanpa kita sadari kalau kita udah ikhlas.

Rabu, 26 Desember 2012

Pengaruh Musik Mirip Hipnotis



Bicara soal musik memang kadang  gak ada habisnya. Dari musik kita bisa membicarakan masalah lainnya, mulai dari beragamnya jenis musik, alat-alat musik , komunitas musik, sampe cara menentukan karakter atau kepribadian seseorang. Musik juga merupakan salah satu bentuk seni yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kadang dengan musik orang yang tadinya sedih berubah jadi senang, dan sebaliknya orang yang tadinya senang bisa dirundung duka. Intinya, musik membuat dunia ini penuh warna, ada warna bahagia dan duka cita, ada juga warna galau-galauan.


Musik memang memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan seseorang. Tapi umumnya, apapun yang kita dengar bisa memberikan pengaruh kepada pikiran dan jiwa kita. Seseorang yang sering mendengar hal yang baik-baik maka dirinya akan jadi pribadi yang baik. Begitu juga sebaliknya, orang yang sering mendengar hal yang buruk-buruk kemungkinan besar tumbuh jadi pribadi yang amoral. Penelitian tentang masalah semacam ini juga pernah dilakukan  ilmuwan jepang yang bernama Masaro Emoto. Pelitiannya dilakukan dengan meneliti dua toples air yang berbeda dimana pada toples pertama sering dikatakan hal yang baik-baik, seperti ucapan terima kasih, kamu baik,dll. Sedangkan pada toples kedua sering dikatakan hal yang buruk-buruk seperti kamu goblok, kamu bodoh,dll. Hasilnya, pada toples pertama terbentuk kristal air yang sangat indah, sementara pada toples kedua terbentuk kristal air yang sangat jelek.


Terus bagaimana hubungannya kata-kata yang baik atau buruk terhadap manusia? Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa 75 % tubuh kita adalah air. Jadi Manusia merupakan makhluk yang sangat responsif terhadap apa –apa yang didengarnya. Semakin banyak dia mendengar kata-kata yang bersifat positif, maka terbentuklah dia sebagai pribadi yang optimis. Sebaliknya, semakin banyak dia mendengar kata-kata yang bernada negatif, maka terbetuklah dia jadi pribadi yang pesimis dan tak punya harapan hidup.


Terus bagaimanakah pengaruh musik terhadap kepribadian seseorang ? Disadari atau tidak dan cepat atau lambat, musik telah membentuk seseorang menjadi pribadi tertentu sesuai dengan jenis musik yang didengarkannya. Tidak jarang musik yang alunannya cepat dan keras membuat seseorang jadi lebih energetik. Begitu juga musik yang alunannya slow dan melow membuat seseorang jadi pribadi yang rapuh dan doyan mewek. Fenomena kayak gini sering kita lihat ketika seseorang sedang dirundung duka karena masalah asmara. Penyebabnya bisa macam-macam, bisa jadi diputusuin secara mendadak dan tanpa aba-aba sama sekali atau bisa juga karena melihat si doi jalan dengan cewek / cowok lainnya. Nah..dalam perasaan hancur itulah dia milih lagu-lagu yang melow-melow sambil mewek sesegukan diatas kasur kayak di sinetron.


Mungkin awalnya dia  berharap perasaannya akan sedikit terobati dengan dengerin musik melow kayak gitu, namun justru hal itu bisa menjerumuskan dirinya dalam penjara kesedihan yang lebih kelam. Padahal mah, kalau mau dipikir-pikir musik melow gak bakalan buat si doi balik lagi atau bisa membuat masalah bisa selesai,bahkan bisa jadi si doi mah lagi seneng2 di tempat lain, sementara dia, malah lebay-lebay an pake nangis segala, udah gitu gak ada yang merhatiin lagi, duh kasian amat dah. Intinya musik melow tidak bisa dijadikan sandaran dalam menanggung beban hidup maupun beban asmara.


Memang begitulah musik, adanya selalu memberikan pengaruh yang cukup kuat dan sifat nya representatif, bisa mewakili perasaan. Dengerin musik boleh aja, tapi jangan berlebihan dalam menghayatinya. Tuhan juga kan kagak suka segala hal yang dilakukan secara berlebihan, yang sedang-sedang sajalah.


Selain itu, ada lagi pengaruhnya yang lebih berbahaya, yaitu pengaruh fanatisme fans pada idola. Maksudnya fantisme yang tanpa tedeng aling-aling dan tanpa saringan. Apa-apa yang idola suka dia juga suka, idola pake anting dia pake anting, idola bertato dia ikut-ikutan bertato, idola nya ngeganja dia juga nge-fly. Itu semua dia lakukan supaya dibilang keren, gaul dan mirip artis. Mending kalau memang bener keren kayak idola nya, pas jatohnya Norak, Kan gak lucu. Ini sih bukan nya nyindir atau apa, soal nya banyak fans yang salah kaprah dan jarang ngukur diri. Tidak sedikit tu fans yang rambut nya di cat warna-warni ngebelain biar dibilang gaul. Padahal kan setiap orang itu adalah pribadi unik. Bahkan Tuhan sudah mewanti-wanti kalau tidak ada satu pun makhluk ciptaannya yang sama persis. Jadi jangan maksain diri jadi Ariel Peterpan kalau takdirnya emang Cecep Saefudin, Jangan pula maksain diri jadi Lady Gaga kalau kodratnya Udah Lilis Hidayati. Just be yourself.



Senin, 24 Desember 2012

PEMBERIAN GELAR HAJI / HAJAH, WAJIB KAH ?



“ Saya ini sudah naik Haji dua kali, kamu jangan coba macam-macam dengan saya”  Kira-kira itulah salah satu skrip dialog H. Muhidin yang bisa kita simak di sinetron “ Tukang Bubur Naik Haji “.

Berbicara mengenai Haji, sebagaimana yang telah kita ketahui, Haji merupakan rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan oleh kaum muslim yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam definisi di atas bahwa kegiatan Haji itu hanya diwajiban bagi umat islam yang sudah mampu. Memang bukanlah hal yang mudah untuk bisa menunaikan ibadah haji. Tidak seperti ibadah lainnya, seperti puasa, dimana semua umat islam bisa menjalaninya, tak jadi masalah apa dia miskin atau kaya, selama dia sudah baligh dan memiliki badan dan akal yang sehat, dia bisa melakukan ibadah puasa. Sementara Haji hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah memiliki perbekalan yang cukup, baik untuk dirinya maupun untuk keluarga yang ditinggalkannya. Selain itu, calon jemaah Haji juga harus memiliki kondisi fisik dan  stamina yang bagus berhubung banyak sekali rukun haji yang lumayan menguras tenaga seperti tawaf, sa’i, dan melontar jumrah.

Mengingat begitu besarnya pengorbanan yang harus dilakukan oleh seorang jemaah haji, tidak lah heran kalau pahala bagi yang ibadah haji nya mabrur adalah Surga, sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Haji mabrur itu tidak ada balasannya melainkan surga” (HR. Bukhari dan Muslim).
 Meskipun demikian, dengan mengingat begitu besarnya pengorbanan dalam melaksanakan ibadah haji, apakah lantas ajaran islam mengharuskan dituliskannya gelar Haji atau Hajah pada kartu nama, KTP, atau Surat Nikah. Demi Allah, tidak ada satu Firman Allah atau Hadits Nabi pun yang meganjurkan diberikannya penggelaran Haji seperti itu. Bahkan Nabi Muhammad SAW. yang notaben nya hamba yang maksum dan telah berhaji lebih dari dari satu kali pun tidak tertera gelar Haji di depan nama beliau.

Terus bagaimana  yang terjadi di masyarakat kita ? Gelar Haji seolah sudah jadi suatu keharusan yang diberikan kepada mereka yang telah berhaji ke tanah suci. Gelar haji sudah seperti gelar akademik yang biasa diberikan kepada Mahasiswa yang lulus setelah bersusah payah bergelut dengan mata kuliah dan skripsi nya.

Pemberian gelar Haji memang hanya sebatas masalah budaya. Tidak ada satu pun institusi di Negara kita yang secara khusus memberikan gelar atau pun sertifikat Haji. Pemberian gelar Haji seolah mengalir begitu saja di masyarakat. Pokoke setiap orang yang telah berhaji kudu di sebut “Pak Haji” atau “Bu Hajah”.

Budaya penggelaran Haji seperti itu memang ada sisi positif nya tapi mudharat nya lebih banyak. Sisi positif nya, dengan adanya penyebutan “Pak Haji” atau “ Bu Hajah”, seseorang secara tidak langsung memberikan ucapan selamat sebagai simbol penghargaan. Dalam ajaran islam juga kita dianjurkan untuk  saling menghormati dan saling menghargai, bukan hanya dengan saudara seiman tapi juga dengan saudara kita yang berbeda agama. Memberikan ucapan selamat adalah salah satu contohnya.

Penghargaan dengan memberi gelar haji memang tidak salah, tapi ada beberapa hal yang dikhawatirkan dengan adanya penggelaran seperti itu. Kadang justru dengan penggelaran seperti itu bisa memancing “Pak Haji” dan “Bu Haji” tersebut untuk bersikap riya dan ujub. Masih mending kalau pribadinya memang bersih dan rendah hati, nah giliran jatuhnya pada yang memang gila akan pujian dan penghargaan, maka sikap riya tidak bisa dihindarkan lagi. Sebagaimana yang kita telah ketahui bersama bahwa riya itu merupakan salah satu penyakit hati yang berbahaya. Al Qurthubi mengatakan,” hakekat riya adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan arti asalnya adalah mencari tempat di hati manusia”[lihat: Al Ikhlas, DR Umar Sulaiman Al Asyqor]. Disamping itu, Rasulullah SAW bersabda,” Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu jika dituruti, kebakhilan (kikir/pelit) yang ditaati, dan kebanggan seseorang terhadap dirinya.” [HSR AbuSyaikh dan Thabrani dalam Mu’jam Ausath-lihat : Shahih Jami’us Shaghir no 3039]

Semakin banyak dan semakin sering orang-orang menyapanya “ Pak Haji” atau “ Bu Hajah”, maka hal itu bisa jadi semacam stimulus atau pemancing untuk membanggakan-banggakan diri, merasa dirinya sudah haji dan memegang tiket surga dengan haji mabrurnya, bisa membuatnya merasa dirinya paling suci dan berderajat paling tinggi. Padahal dalam islam derajat kemuliaan seseorang tidak diukur oleh tigginya gelar atau banyak nya harta. Satu-satunya yang meninggikan derajat seseorang hanyalah ketakwaannya.

Kita memang tidak tidak bisa menilai baik buruk nya budaya secara sepihak. Tapi terlepas dari itu semua, sebagai umat islam kita wajib menjadikan Al-quran dan Al-adits sebagai panduan sempurna dalam menilai segala sesuatu. Budaya apa saja selama itu sesuai dengan Al-quran dan Al-hadits, kita lestarikan. Dan mana saja budaya yang banyak bertentangan dengan Al-quran dan Al-hadits kita tinggalkan.

Kesimpulannya, gelar haji tidak bisa dijadikan jaminan seseorang sebagai pribadi yang suci dan bebas dosa, justru dengan penggelaran Haji semacam itu bisa menjerumuskan dirinya pada sikap riya dan takabur yang balasannya justru Neraka. Apalah artinya gelar suci yang menempel pada nama orang yang berhati busuk.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Pacaran Ntu Indah,,Tapi......

Soal pacaran di zaman sekarang tampaknya menjadi gejala umum di kalangan kawula muda. Barangkali fenomena ini sebagai akibat dari pengaruh kisah-kisah percintaan dalam roman, novel, film dan syair lagu. Sehingga terkesan bahwa hidup di masa remaja memang harus ditaburi dengan bunga-bunga percintaan, kisah-kisah asmara, harus ada pasangan tetap sebagai tempat untuk bertukar cerita dan berbagi rasa. Selama ini tempaknya belum ada pengertian baku tentang pacaran. Namun setidak-tidaknya di dalamnya akan ada suatu bentuk pergaulan antara laki-laki dan wanita tanpa nikah. Kalau ditinjau lebih jauh sebenarnya pacaran menjadi bagian dari kultur Barat. Sebab biasanya masyarakat Barat mensahkan adanya fase-fase hubungan hetero seksual dalam kehidupan manusia sebelum menikah seperti puppy love (cinta monyet), datang (kencan), going steady (pacaran), dan engagement (tunangan). Bagaimanapun mereka yang berpacaran, jika kebebasan seksual da lam pacaran diartikan sebagai hubungan suami-istri, maka dengan tegas mereka menolak. Namun, tidaklah demikian jika diartikan sebagai ungkapan rasa kasih sayang dan cinta, sebagai alat untuk memilih pasangan hidup. Akan tetapi kenyataannya, orang berpacaran akan sulit segi mudharatnya ketimbang maslahatnya. Satu contoh : orang berpacaran cenderung mengenang dianya. Waktu luangnya (misalnya bagi mahasiswa) banyak terisi hal-hal semacam melamun atau berfantasi. Amanah untuk belajar terkurangi atau bahkan terbengkalai. Biasanya mahasiswa masih mendapat kiriman dari orang tua. Apakah uang kiriman untuk hidup dan membeli buku tidak terserap untuk pacaran itu ? Atas dasar itulah ulama memandang, bahwa pacaran model begini adalah kedhaliman atas amanah orang tua. Secara sosio kultural di kalangan masyarakat agamis, pacaran akan mengundang fitnah, bahkan tergolong naif. Mau tidak mau, orang yang berpacaran sedikit demi sedikit akan terkikis peresapan ke-Islam-an dalam hatinya, bahkan bisa mengakibatkan kehancuran moral dan akhlak. Na’udzubillah min dzalik ! Sudah banyak gambaran kehancuran moral akibat pacaran, atau pergaulan bebas yang telah terjadi akibat science dan peradaban modern (westernisasi). Islam sendiri sebagai penyempurnaan dien-dien tidak kalah canggihnya memberi penjelasan mengenai berpacaran. Pacaran menurut Islam diidentikkan sebagai apa yang dilontarkan Rasulullah SAW : "Apabila seorang di antara kamu meminang seorang wanita, andaikata dia dapat melihat wanita yang akan dipinangnya, maka lihatlah." (HR Ahmad dan Abu Daud). Namun Islam juga, jelas-jelas menyatakan bahwa berpacaran bukan jalan yang diridhai Allah, karena banyak segi mudharatnya. Setiap orang yang berpacaran cenderung untuk bertemu, duduk, pergi bergaul berdua. Ini jelas pelanggaran syari’at ! Terhadap larangan melihat atau bergaul bukan muhrim atau bukan istrinya. Sebagaimana yang tercantum dalam HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya: "Janganlah salah seorang di antara kamu bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang wanita, kecuali bersama dengan muhrimnya." Tabrani dan Al-Hakim dari Hudzaifah juga meriwayatkan dalam hadits yang lain: "Lirikan mata merupakan anak panah yang beracun dari setan, barang siapa meninggalkan karena takut kepada-Ku, maka Aku akan menggantikannya dengan iman sempurna hingga ia dapat merasakan arti kemanisannya dalam hati." Tapi mungkin juga ada di antara mereka yang mencoba "berdalih" dengan mengemukakan argumen berdasar kepada sebuah hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud berikut : "Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, atawa memberi karena Allah, dan tidak mau memberi karena Allah, maka sungguh orang itu telah menyempurnakan imannya." Tarohlah mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tali iman yang kokoh, yang nggak bakalan terjerumus (terlalu) jauh dalam mengarungi "dunia berpacaran" mereka. Tapi kita juga berhak bertanya : sejauh manakah mereka dapat mengendalikan kemudi "perahu pacaran" itu ? Dan jika kita kembalikan lagi kepada hadits yang telah mereka kemukakan itu, bahwa barang siapa yang mencintai karena Allah adalah salah satu aspek penyempurna keimanan seseorang, lalu benarkah mereka itu mencintai satu sama lainnya benar-benar karena Allah ? Dan bagaimana mereka merealisasikan "mencintai karena Allah" tersebut ? Kalau (misalnya) ada acara bonceng-boncengan, dua-duaan, atau bahkan sampai buka aurat (dalam arti semestinya selain wajah dan dua tapak tangan) bagi si cewek, atau yang lain-lainnya, apakah itu bisa dikategorikan sebagai "mencintai karena Allah ?" Jawabnya jelas tidak ! Dalam kaitan ini peran orang tua sangat penting dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya terutama yang lebih menjurus kepada pergaulan dengan lain jenis. Adalah suatu keteledoran jika orang tua membiarkan anak-anaknya bergaul bebas dengan bukan muhrimnya. Oleh karena itu sikap yang bijak bagi orang tua kalau melihat anaknya sudah saatnya untuk menikah, adalah segera saja laksanakan.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Bahagia Menjadi Perempuan


Maha Suci Allah SWT yang menciptakan dunia ini dengan segala isinya. Allah SWT menciptakan gunung, langit dan lautan penuh dengan keserasian. Di antara sekian banyak makhluk-Nya, Dia menciptakan makhluk yang amat sempurna yaitu manusia dengan karakter yang berbeda-beda. Semoga kita termasuk manusia yang memiliki karakter yang baik, terhindar dari karakter yang jelek. Wahai Para Perempuan! Seandainya kita lahir di zaman jahiliyah dulu ketika bayi perempuan di kubur hidup-hidup, mungkin kita tidak akan merasakan bagaimana menjadi perempuan. Kita bersyukur lahir ke dunia ini dalam kondisi Islam sudah lahir sehingga kita diberi kesempatan untuk hidup menjadi perempuan. Berbahagiakah kita menjadi perempuan ? atau... Kecewakah menjadi perempuan Menyesalkah kita ketika dihadapkan dengan tugas perempuan mesti di rumah? Menyesalkah ketika di zaman ini persaingan perempuan untuk mendapatkan jodoh begitu kental sehingga kita sulit mendapatkannya? Kecewakah kita ketika melamar pekerjaan tapi belum ada yang mau menerima? Kecewakah kita ketika bekerja di sebuah perusahaan menjadi pekerja paling rendah? Kecewakah kita ketika seorang perempuan menjadi isteri harus taat kepada suami? Banyak sekali pertanyaan yang akan dilontarkan kepada diri kita sebagai makhluk yang diciptakan Allah SWT, yang memiliki kelebihan. Sekiranya jawaban dari pertanyaan di alas adalah "kecewa" atau "sangat kecewa", maka kita termasuk orang yang merugi. Seharusnya kita berbahagia menjadi perempuan karena begitu banyaknya tugas yang harus dijalankan oleh kita. Artinya, jalan untuk mendapatkan surga sangat melimpah, tinggal kesungguhan kita mengamalkannya. Rasulullah SAW bersabda: "Jika seorang perempuan melaksanakan shalat lima waktu, memelihara kemaluannya dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu manapun yang ia suka." (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya). Wahai para muslimah yang mudah-mudahan dimuliakan oleh Allah SWT. Seorang anak yang bertahun-tahun ingin dibelikan motor oleh orang tuanya. Kemudian suatu saat dibelikan motor tentu akan sangat berbahagia. Kita bayangkan dalam kebahagiaan anak dengan motor tersebut dipakai untuk kebut-kebutan sehingga menabrak orang lain, betapa kecewanya orang tua. Tapi jika kebahagiaan mendapatkan motor dia pakai untuk ke pengajian, ke sekolah, menolong orang, tentu orang tua berbahagia sekali. Begitulah perumpamaan orang yang bahagia menjadi perempuan. Fmnan Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. [Q.S. At-Taghabun (64): 9] Dialah yang menciptakan kita. Kita tidak mau mengecewakan-Nya. Aurat tidak diperlihatkan kepada sembarang orang, keindahan tubuhnya tidak diperlihatkan kepada yang bukan haknya sehingga orang tergelincir. Tetapi kita berusaha agar keindahan tubuh kita hanya untuk suami. Aurat ditutup rapi karena malu kepada Allah, menjaga sikap sehingga laki-laki tidak tergelincir. Insya Allah, Dia akan mencintai kita. 1. Bahagia Menjadi Anak Perempuan Jadilah anak perempuan yang selalu berterimakasih kepada orang tua. Jadilah anak perempuan yang selalu membahagiakan kedua orang tuanya dengan menghormatinya, berprestasi, dll. Jadilah anak perempuan yang dapat menjaga kehormatan dirinya. Tidak terjerumus dalam kemaksiatan (spt : pacaran, apalagi berbuat zilla) 2. Bahagia Menjadi Isteri Jadilah isteri yang selalu membahagiakan suami. Jadilah isteri yang mudah meminta maaf ketika berbuat salah. Jadilah isteri yang dapat memotivasi suami untuk berjuang dan berprestasi. Jadilah isteri yang dapat mengingatkan suami ketika berbuat salah. 3. Bahagia Menjadi Ibu Berusaha mendidik anak-anak dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan agar menjadi anak-anak yang shaleh dan shaleha, cerdas dan bermanfaat bagi masyarakat. Menjadikan suasana rumah penuh kedamaian. Menjadikan suasana rumah seperti sekolah. Berusaha menjadi contoh kebaikan untuk anak-anak dan masyarakat sekitarnya. Tegar ketika menadapat ujian atau musibah. Wahai para perempuan yang mengharapkan kasih sayang Allah! Fenomena perempuan salah langkah seperti tidak dapat menjaga kesucian dirinya, selalu mengejar karier, menolak menikah karena khawatir terganggu karierya dan yang lainnya, merupakan bukti bahwa dia kecewa menjadi perempuan, padahal Allah sudah menciptakan perepmpuan dengan kedudukan yang mulia di sisi-Nya, meyakini bahwa pernikahan merupakan sunatullah yang wajib diamalkan sekiranya diberikan kemampuan" Selamat berbahagia menjadi perempuan yang taat kepada Allah, takut kepada siksa-Nya. Mari kita jaga diri kita agar tidak salah langkah, kita bantu saudari-saudari kita yang salah langkah dengan memberikan nasihat dan doa. Semoga Allah memberlkan kekuatan iman kepada kita semua. Aamiiiin.

The Importance of Hard Work in Success


You do not come across success just by hoping for it. To achieve true success, you need the strength of mind and body to struggle and work hard to reach your fullest potential. You need the right attitude, self-discipline and the ability to put your goal before your own needs, if you are really driven towards reaching success. There is, after all no substitute for hard work, and as Henry Ford says, “The harder you work, the luckier you get” – the more successful you get! How do you overcome success? Intense hard work along with great skills shall help you win one success after another. There shall be innumerable obstacles strewn in your path towards success, however, what makes a man truly worthy of the success that he attains is the ability to keep struggling until he can reach his goal. Giving up after a few failed attempts makes you a loser. A truly successful man will keep trying and keep struggling until he perfects his art. Thomas Edison failed approximately 10,000 times while he was working on the light bulb and yet he never dreamed of giving up – this is the hard work and the determination that marks a true success. Indeed, success is not measured by the position that you are in, today but the amount of hard work you put in and the number of obstacles that you overcome to reach your goal. Why work hard, if there are shortcuts? The good thing about working hard is, that for people who are driven towards their goal can enjoy their hard work and consequently, the work does not seem unduly grueling to them. When you begin to work hard towards achieving success, make sure to work smartly too. An intelligent working technique, along with relentless effort will go a long way in helping you achieve the success that you always desired. Nothing in this world comes easily, least of all, success. Take the example of Abraham Lincoln who worked hard, without ever getting disappointed of his countless failures, from the age of 21 till the age of 52, when he went on to become the President of the US. Again, it took Noah Webster 36 years to compile his Webster's Dictionary. Where would we be today if he had not put in those countless hours of hard work behind his grand contribution to the English language? Therefore, you need to remember that there are no short cuts to success. Hard work, complimented with an intense desire to struggle and to achieve success is the only sure shot way of reaching success that you have always wanted.

Jumat, 17 Agustus 2012

FANATIK TAPI MUNAFIK

SATU di antara perilaku luhur yang konon dimiliki bangsa Indonesia adalah beragama atau religius. Seabrek contoh dicoba diajukan untuk membuat percaya dalam dan luar negeri bahwa bangsa ini shalih dengan agama yang dianutnya, antara lain rajin ke tempat ibadah semisal Masjid, Gereja atau Vihara. Kaum Muslim –dengan rasa berat hati penulis jadikan contoh mengingat mayoritas di Indonesia– seakan terkesan begitu shalih. Umat begitu antusias ke Masjid untuk shalat atau menyimak ceramah, berpuasa sunnah selain wajib di bulan Ramadhan, kadang ada yang bolak-balik ke tanah suci untuk menunaikan ibadah Haji dan Umrah. Namun apa output segala ibadat atau keshalihan ritual terhadap kehidupan sosial, atau apakah keshalihan ritual menjamin terbentuk keshalihan sosial seperti jujur, rajin, tepat waktu, sopan atau berbagai disiplin lainnya? Kasus Indonesia jelas membuktikan bahwa keshalihan ritual belum tentu sejalan dengan keshalihan sosial. Kedua hal tersebut seakan sulit menyatu bagai sulitnya air berlarut dengan minyak. Bahkan mungkin Indonesia dapat menjadi wakil dari keadaan tersebut di dunia Muslim. Korupsi menempati nomor 6 di dunia dan pornografi menempati urutan kedua, jelas membuktikan bahwa kehidupan ritual dan sosial seakan berjalan sendiri-sendiri. Indonesia tetap atau masih dikenal sebagai negara korup, preman, mistik atau segala jenis kebobrokan hukum/moral lainnya. Bangsa Indonesia mengalami masalah kepribadian ganda dalam soal adab. Dasar atau fitrah yang memang barbar ditambah penjajahan yang demikian lama agaknya menempatkan Indonesia sebagai bangsa yang (mungkin) paling bejad. Kebejadan paling dasar bangsa ini dapat disimak dari mental syiriknya. Sebelum bangsa ini mengenal agama dari luar, berbagai pemujaan terhadap berbagai sosok yang dinilai besar, indah, mengagumkan atau menakutkan semisal pohon besar, batu besar, gunung, matahari atau petir telah berlangsung lama. Hal tersebut masih bertahan walau secara formal telah menganut agama tertentu. Ziarah kubur yang dimaksudkan untuk mengingat mati dan akhirat diselewengkan menjadi ‘ritual’ untuk memohon berkah atau selamat kepada orang yang telah menjadi bangkai atau tulang belulang, karena dinilai sebagai sosok keramat atau suci. Kebejadan lain yang menyertainya adalah bahwa berkah atau selamat yang dimaksud lebih cenderung bercorak duniawi ketimbang ukhrawi semisal minta harta, jodoh, anak, disukai lawan jenis atau disayang atasan. Coba tengok ke tempat ziarah di seantero Nusantara semisal Banten, Cirebon, Demak, Imogiri bahkan di kota-kota besar semisal Jakarta. Para pengemis –asli maupun palsu– dengan sigap memanfaatkan kepercayaan tersebut untuk minta-minta sedekah kepada peziarah, ditambah tukang copet yang tanpa segan-segan beraksi di tempat yang dinilai keramat tersebut. Faham pra Islam lain yang masih bertahan adalah ritual seperti selamatan sekian hari untuk yang mati: 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Pada mulanya para ulama pada awal masa da’wah Islam di Jawa membiarkan tersebut untuk sementara. Pertimbangannya, masyarakat Jawa yang baru mengenal Islam tidak kaget karena terbiasa dengan ritual tersebut sebagai dampak pengaruh Hindu-Budha sekitar 1500 tahun lamanya. Sebagai awal perubahan, pelan-pelan mereka mengubah mantra dengan do’a. Permainan wayang –yang akrab dengan masyarakat Jawa– diselipkan dengan pesan-pesan Islami. Namun kebiasaan tersebut menjadi berkepanjangan karena da’wah terhambat oleh konflik dengan imperialis Barat. Kekuatan asing tersebut bahkan bergabung dengan kekuatan yang masih berfaham pra Islam untuk menghambat da’wah Islam yang murni sesuai dengan kitab dan sunnah. Konflik berkepanjangan dengan konspirasi anti Islam tersebut berakibat banyak aset umat semisal masjid dan pesantren rusak, para ulama banyak yang tewas, hilang atau ditangkap. Dampaknya, rakyat yang waktu itu masih mengenal Islam sebatas kulit, menjadi kehilangan tuntunan. Rakyat kembali melaksanakan ritual pra Islam dicampur dengan Islam, hal yang berlangsung hingga kini. Potensi umat terkuras oleh perang sehingga da’wah menjadi terbelakang. Terpeliharalah “penyakit” umat yang terangkum dalam singkatan TBC (Tahyul, Bid’ah, Churafat) hingga kini. Kaum Muslim cenderung menerima apa saja yang dikatakan ulama atau kiyahi tanpa mencoba mengolah dengan logika (taqlid), umumnya banyak terdapat di pesantren. Berbagai ritual yang tak jelas sumbernya atau sulit dipertanggung jawabkan secara ‘aqliyyah maupun naqliyyah bermunculan di tengah umat (bid’ah), jika ada yang menyangkal langsung ditanggapi dengan emosional, bukan rasional. Faham yang bukan-bukan semisal sekian hari setelah kematian arwah si mati akan mengunjungi rumah keluarganya juga masih belum lenyap. Padahal dalam ‘aqidah Islam jika seseorang telah mati maka arwahnya berada di alam barzakh, bukan gentayangan di dunia. Praktek mistik semisal santet, adalah bentuk praktek pra Islam yang masih lestari bahkan di daerah-daerah yang dikenal dengan kental nuansa Islami semisal Banten dan Jawa Timur. Hal tersebut diperparah karena praktek tersebut tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat al-Qur-an atau do’a-do’a Islam lainnya, semisal untuk memikat lawan jenis, mencelakakan orang yang dibenci atau disayang atasan. Ada yang mempelajari dan mengamalkannya sendiri, ada pula yang minta bantuan kepada orang-orang yang ahli tentang itu, lazim disebut dukun. Memang, pada hakekatnya kejahatan adalah kebaikan yang diselewengkan. Tuhan telah menciptakan alam semesta –termasuk dunia– dalam keadaan baik, tetapi dirusak, diselewengkan oleh manusia sehingga dunia betul-betul menjadi rusak. Namun ironisnya, dunia yang kelak disalahkan sebagai penyebab “kerusakan” manusia, padahal dunia adalah ciptaan Tuhan jua sebagai bentuk kasih-Nya kepada insan. Penyelewengan sesuatu kebaikan berlaku juga untuk al-Qur’an, banyak ayat-ayat yang dipakai untuk yang bertentangan dengan hakekat ayat itu sendiri. Contoh yang sederhana mungkin begini, jika al-Qur’an dibaca dari kanan ke kiri insya Allah akan menjadi rahmat atau berkah, namun jika dibaca dari kiri ke kanan atau dibolak-balik begitu rupa bukan mustahil menjadi santet atau sihir. Penulis pernah menemukan kitab-kitab yang menggunakan huruf atau bacaan berbahasa Arab untuk tujuan sihir atau apalah istilahnya, lazim dikenal dengan sebutan mujarabat. Isinya antara lain tolak bala terima laba. Inilah tantangan berat atau kerja besar bagi para intelek Muslim –atau apapun istilahnya– untuk melanjutkan da’wah yang tertunda akibat penjajahan yang lama, kembali pada pemurnian dan juga pembaharuan pemahaman agama. Namun, da’wah yang mungkin begitu giat dilaksanakan agaknya mendapat hambatan –sadar maupun tidak– justru dari para intelek itu sendiri, ‘kegagalan’ para ahli agama adalah menyampaikan pesan-pesan agama yang membumi atau terkait langsung dengan corak hidup sehari-hari, sehingga secara sadar tidak sadar turut melestarikan kesenjangan antara hidup ritual dengan sosial. Mereka cenderung membahas perkara yang kurang memiliki kejelasan kaitan antara agama dengan dunia semisal cerita-cerita seputar suasana surga dan neraka, atau mereka menyampaikan pesan-pesan agama yang masih bersifat umum, cenderung kurang memberi contoh konkrit dalam hidup sehari-hari. Memang, surga dan neraka atau tegasnya akhirat itu ada, namun bagaimana cara menyikapi akhirat selama hidup di dunia? Jika hal tersebut dibahas, penulis ulangi, masih bersifat umum semisal ajakan “mari beriman atau bertakwa kepada tuhan”. Tetapi apakah contoh konkrit iman atau takwa dalam hidup sehari-hari? Akibat kegagalan tersebut, tidak heran jika kita mungkin pernah menyaksikan atau bahkan diri sendiri merasakan hasil “masuk masjid tobat keluar masjid kumat”, yaitu kumat selingkuhnya atau maksiatnya semisal bohong atau korupsi. Cenderung terabaikan bahwa kesempatan beragama justru ketika masih hidup di dunia, bukan di akhirat. Di akhirat, kita mendapat balasan berdasar perilaku hidup di dunia. Dengan demikian, faham sekuler tidak mendapat tempat dalam Islam. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dengan dunia semisal politik dan ekonomi. Namun justru kita tanpa sadar atau kadang sadar membuat pemisahan antara kedua hal tersebut. Kita rajin shalat misalnya, namun juga rajin korupsi. Kebejadan berikut adalah kecenderungan bangsa ini menggunakan agama sebagai kedok, atau membawa-bawa ayat dan hadits jika berbicara padahal perilakunya diketahui menyimpang dari perkataannya. Mengenai ini penulis sering bertemu dengan orang-orang demikian. Contohnya dalam hal perkawinan, penulis sering dipertanyakan status lajangnya: mengapa belum juga menikah. Ketika penulis memberi beberapa alasan intelek, mereka dengan sigap berdalih, “Menikah itu sunnah rasul, lho…” Penulis yakin bahwa bangsa ini pasti tetap berkeinginan dan melaksanakan pernikahan, walaupun tidak ada sunnah rasul. Coba kita tinjau sejarah, bangsa ini mengenal ‘budaya kawin’ jauh sebelum mereka mengenal sunnah rasul, atau tegasnya jauh sebelum kenal agama. Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 sesudah Masehi, padahal penduduk Nusantara sudah ada sejak sekitar 3000-2000 sebelum Masehi. Ketika mereka mengenal agama (Islam), mereka agaknya mendapat peluang menjadikan agama sebagai kosmetik untuk urusan syahwat tersebut supaya terkesan elegan. Padahal, bangsa ini pada dasarnya adalah bangsa terbelakang, fikirannya tak jauh dari selangkangan. Karena itu sulit mendapat pencerahan yang akan menuntun kepada kemajuan atau capaian kemanusiaan. Tambahan pula, jika ingin bersunnah rasul kenapa cuma menikah yang disebut-sebut? Padahal, yang namanya sunnah rasul tidak hanya menikah. Kedisiplinan, rajin, teliti, jujur mencari rezeki atau seluruh perbuatan yang tergolong amar ma’ruf nahyi munkar, adalah sunnah rasul. Bukankah rasul banyak memberi contoh perilaku demikian? Inilah suatu bukti bahwa betapa dangkal kaum Muslim Indonesia memahami agama Islam. Pada hakikatnya bangsa ini tidak beragama, mereka sibuk mencari dunia: yang kaya menambah kekayaannya dan mengamankan asetnya, sedangkan si miskin jungkir balik demi sesuap nasi, sehingga tidak sempat membaca buku agama. Namun konyolnya, jika ada kasus yang sedikit terkait dengan agama, mereka beramai-ramai berebut omong agama, semua ingin didengar pendapatnya. Mendadak semua menjadi “pakar” agama. Langkah untuk memperbaiki umat di Indonesia adalah terus menerus memberi pemahaman agama sesuai sumber aslinya. Jangan buru-buru menyatakan secara resmi negara ini menjadi negara Islam, apa gunanya syari’at Islam secara formal tercantum dalam konstitusi atau hukum tertulis lainnya jika umatnya belum faham atau siap? Islam mengutamakan isi, bukan kulit. Jika rakyat dengan sadar atau faham agama, tanpa mencantumkan syari’at pun dalam berbagai produk hukum, otomatis Indonesia akan menjadi Islami. Pembentukan berbagai partai berasaskan Islam atau beramai-ramai ulama masuk partai politik atau menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, belum dapat menjadi ukuran bahwa Indonesia menjadi Islami. Begitu banyak parpol Islam justru menunjukan bahwa kaum Muslim terpecah-belah, padahal agama menyuruh umat bersatu. Ulama masuk parpol atau berpolitik praktis berakibat ulama punya musuh politik, padahal ulama justru harus berada di atas semua golongan. Ulama menjadi anggota dewan perwakilan rakyat justru membuat asyik mengurus jabatan atau mempertahankan jabatan, bukan mengurus atau membela umat. Bahkan ada kecenderungan ulama menjadi selebritis selain para artis, politisi atau atlit, ini mengandung resiko bahwa mereka akan berjarak dengan umat, yang mayoritas justru menengah ke bawah. Padahal ulama harus “merangkul” semua golongan. Serahkan politik, hukum atau ekonomi kepada ahlinya, namun ulama mesti menjadikan yang bersangkutan sadar atau faham untuk berperilaku agamis, semisal menjaga batas halal dan haram dalam bidang yang dijalaninya, bukan mesti menjadikannya hafal ayat dan hadits. Ini sedikit contoh saja. Masih ada lagi kebejadan yang tak disadari padahal telah menempatkan Indonesia dalam peringkat 2 di dunia, yaitu pornografi, mencakup pula prostitusi. Praktek korupsi –yang lebih banyak bikin heboh– ternyata menempatkan Indonesia “hanya” pada peringkat 6 dunia. Di beberapa negeri yang kita nilai bejad, ternyata berlaku pembatasan terhadap pornografi. Di Indonesia, bacaan dan tontonan porno begitu mudah dijangkau oleh yang mereka yang berusia “di bawah umur” semisal terang-terangan digelar di tepi jalan atau minimal disamarkan dengan bacaan atau tontonan “halal” yang didapat dengan bisik-bisik. Belum lagi termasuk situs internet mudah ditemukan asal tahu alamatnya, cukup diawali dengan membuka search engine Google. Dengan demikian pornografi merambah ke dalam rumah, dapat diintip tanpa perlu keluar rumah. Keajaiban Indonesia dalam urusan syahwat tersebut adalah, betapa ada daerah-daerah yang dikenal begitu agamis ternyata banyak menghasilkan pelacur dengan berbagai istilah. Mengenai ini kalau boleh penulis sebut antara lain adalah Cirebon. Daerah ini dikenal dengan kebiasaan nikah muda –umumnya ketika panen– mengingat daerah tersebut terdapat lahan pertanian yang begitu luas, atau para orangtua menjodohkan anak pada usia muda untuk lekas bebas dari tanggung jawab. Pasangan muda tersebut cenderung boros, uang hasil panen tersebut dipakai untuk membeli perabotan dan perhiasan. Ketika masa paceklik, mulailah barang-barang tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan hingga habis. Kurang nafkah berakibat muncul cekcok suami-istri hingga cerai, jadilah perempuan tersebut menjadi ”janda kembang” atau “janda muda”. Ada juga yang bercerai karena perkawinannya tidak didasarkan cinta, melainkan karena menuruti kehendak orangtua. Untuk bertahan hidup mereka memilih prostitusi di dalam maupun di luar daerahnya, bahkan dengan dukungan orangtua. Tidak jarang ada orangtua yang menjual putrinya kepada sindikat prostitusi. Konon hal tersebut telah berlangsung turun temurun, faktornya karena kemiskinan atau memiliki budaya materialistis atau konsumtif, yaitu ingin hidup enak dengan jalan pintas. Penulis pernah melakukan semacam survey di lokasi prostitusi di dekat Merak, Banten. Dari beberapa orang yang penulis tanya ternyata mereka berasal dari satu kampung yang sama di daerah Cirebon. Sebelumnya, penulis pernah dengar dari seorang teman yang berasal dari Cirebon, bahwa desa tersebut memang gudangnya pelacur. Motif yang mereka ajukan cenderung klasik: masalah ekonomi. Daerah tersebut juga dikenal sebagai gudang kekerasan, sejak lama tawuran antar kampung terjadi. Agaknya, jalur Pantura (pantai utara) merupakan daerah Latinnya Indonesia: berdarah panas, emosional, fanatik namun munafik. Getol beribadat (ritual) namun getol pula bermaksiat! Ini pekerjaam serius bagi para intelek yang mendambakan suasana agamis di negeri ini. Cara yang dapat ditempuh untuk maksud tersebut di atas adalah bahwa selain da’wah dengan mulut (da’wah bil lisan), juga da’wah dengan praktek (da’wah bil haal). Jangan umat hanya diceramahi agama, padahal perutnya lapar atau bajunya kurang bahan. Tetapi, perbaiki juga kehidupan sehari-hari mereka. Islam tidak mengenal pemisahan urusan dunia dengan akhirat, ritual dengan sosial atau pemisahan antara material dengan spiritual. Semua terkait erat karena dunia atau materiel juga anugerah Tuhan, maka didapat dan dipakai juga sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian memberantas kemiskinan dan kebodohan harus disadari sebagai bagian dari ibadah, bukan cuma shalat, puasa, doa-doa atau ngaji-ngaji! Jelaslah bahwa bersekolah, berdagang, berpolitik juga dapat bernilai ibadah. Jelaslah bahwa hal ini bukan cuma tugas ulama, kiyai, ajengan tetapi juga presiden, menteri, gubernur, jenderal dan sebagainya. Da’wah dengan perbuatan lazim dikenal dengan istilah “da’wah bil haal”. Sungguh tepat sabda rasul, “kefakiran dapat menyebabkan kekafiran”. Miskin dapat menggoda orang menjadi penipu, pencuri, perampok, pembunuh atau pindah agama!