goresan hidup seorang biduan

Rabu, 28 September 2011

Bantahan Ahmad Dimyati cs : Setiap bid'ah itu sesat

Semua Bid’ah Dalam Agama
Adalah Sesat

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: Bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berkata di saat beliau berkhutbah:
أَمَا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا , وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma Ba’du, sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (Hadits Riwayat Muslim: 867)

Berkata Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآَهَا النََّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah kesesatan walaupun dianggap baik oleh manusia” (Diriwayatkan oleh Al-Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah: 1/126)

Berkata Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu Ta’ala: “Ketahuilah rahimakumullah (semoga Allah merahmatimu) bahwa apa yang telah disebutkan berupa dalil-dalil adalah hujjah secara umum tercelanya (bid’ah) dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa riwayat tersebut datang secara mutlak dan umum, dengan banyaknya riwayat namun tidak terdapat pengecualian sama sekali, tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa di antara (bid’ah) ada yang berupa petunjuk, tidak ada pula disebutkan: setiap bid’ah sesat kecuali ini dan itu dari berbagai macam makna. Ini menunjukkan bahwa seluruh dalil tersebut di atas hakikatnya yang dzahir berupa lafadz “kullu” (seluruhnya).

Kedua: Bahwa telah ditetapkan dalam prinsip-prinsip yang ilmiah bahwa setiap kaidah menyeluruh atau dalil syar’i yang bersifat menyeluruh bila berulang-ulang disebutkan di banyak tempat, dan didatangkan sebagai penguat terhadap makna-makna ushul dan furu’ dan tidak pernah disertai pengkhususan di saat seringnya disebutkan, maka itu merupakan dalil atas ketetapan lafadz tersebut bersifat umum.

Ketiga: Ijma’ para ‘Ulama salaf dari kalangan shahabat, tabi’in dan setelah mereka atas tercelanya bid’ah, dan menjelekkannya, berlari meninggalkan orang yang disifati sebagai ahli bid’ah, dan tidak ada sedikitpun dari mereka sikap tawaqquf (abstain) atau ragu, maka ini merupakan ijma’ yang ditetapkan yang menunjukkan bahwa setiap bid’ah tidak ada yang benar, bahkan termasuk kebatilan.

Keempat: Bahwa orang yang memahami bid’ah mengharuskan bersikap demikian (yaitu meyakini bahwa setiap bid’ah itu sesat) sebab hal tersebut termasuk ke dalam perkara yang bertentangan dengan syari’at, membuang syari’at, dan setiap yang keadaannya seperti ini mustahil terbagi menjadi: yang baik dan yang buruk, ada yang terpuji dan ada pula yang tercela, karena tidaklah benar baik secara akal maupun secara syar’i menganggap baik apa yang menyelisihi syari’at. Demikian pula kalau dikatakan bahwa terdapat dalil yang menganggap baik sebagian bid’ah atau dikecualikan sebagiannya dari celaan, tidaklah bisa tergambarkan. Karena bid’ah itu adalah metode yang menyaingi syari’at dalam keadaan dia tidak termasuk (syari’at), dan bila syari’at menganggap baik adalah dalil disyari’atkannya hal tersebut, sebab kalau syari’at mengatakan: “bahwa ajaran baru si fulan itu baik “berarti itu disyari’atkan”. (Lihat Al-Al-Al-I’tisham: 1/187-189. Dan lihat pula kitab Mauqif Ahlis Sunnah: 1/ 73-88).

Tidak Ada Khilaf di Kalangan ‘Ulama Bahwa Semua Bid’ah Dalam Agama Itu Sesat

Banyak terjadi kesalahpahaman di antara kaum muslimin terhadap apa yang disebutkan oleh sebagian para ‘Ulama dengan istilah bid’ah hasanah, atau pembagian bid’ah menjadi lima bagian: wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah. Atau membagi bid’ah menjadi dua: mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela).

Sehingga tergambarkan oleh mereka bahwa di dalam agama ada bid’ah yang boleh dikerjakan, bahkan dianjurkan, atau bahkan diharuskan, lalu setelah itu menjadikan berbagai macam bid’ah yang menyesatkan tersebut sebagai bagian dari agama yang dianjurkan untuk mengerjakannya, termasuk pula di antaranya bid’ah dholalah model Arifin ilham dengan dzikir jama’ahnya.

Telah disebutkan oleh salah seorang pendukung dzikir ini bernama Ahmad Dimyathi Badruzzaman MA bahwa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam “kullu bid’atin dholalah” adalah umum yang telah ditakhsis (dikhususkan) dengan beberapa hal:

Pertama : Kecuali dalam urusan dunia.
Kedua : Kecuali yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin.
Ketiga : Kecuali bid’ah hasil ijtihad imam-imam mujtahid. (Dzikir Berjamaah, Sunnah atau Bid’ah, tulisan Ahmad Dimyathi halaman 49-54).

Sesungguhnya kalau Ahmad Dimyathi -semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua- memperhatikan secara seksama definisi bid’ah secara istilah, niscaya dia akan berkesimpulan bahwa sesungguhnya tidaklah perlu adanya takhsis yang di sebutkan itu, dan akan menyikapi hadits Rasulullah shallalahu alaihi wasallam tersebut secara mutlak.

Namun anehnya, ketika Ahmad Dimyathi memberikan kesimpulan terhadap definisi bid’ah secara terminology (istilah) dia mengatakan: “Ringkasnya, segala sesuatu yang terjadi dalam agama yang belum pernah ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tidak pula di zaman para Shahabatnya, yang tidak bersumber dari syara’, baik dengan dalil yang tegas maupun dengan isyarat, dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka hal itu menurut syari’at dinamakan dengan bid’ah” (Dzikir Berjama’ah, Sunnah atau Bid’ah, Dimyathi, hal. 31)

Dan perhatikan pula yang diucapkan oleh Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah:
((كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)) وَالْمُرَادُ بِالْبِدْعَةِ مَا أُحْدِثَ مِمَّا لاَ أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرِيْعَةِ يَدُلُّ عَلَيْهِ, وَأَمَّا مَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ مِنَ الشَّرْعِ يَدُلُّ عَلَيْهِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ شَرْعًا وَإِنْ كَانَ بِدْعَةً لُغَةً
“(Kullu bid’atin dholalah) Yang dimaksud dengan bid’ah adalah perbuatan baru yang tidak ada penunjukannya dalam syari’at, adapun yang memiliki asal dalam syari’at penunjukkannya maka bukan bid’ah secara istilah walaupun termasuk bid’ah secara bahasa”. (Jami’ul Ulum wal Hikam: 252)

Kalau sekiranya Ahmad Dimyathi konsekuen dengan kesimpulan definisi tersebut, niscaya dia tidak akan memerlukan adanya pentakhsisan tersebut.

Adapun takhsis yang pertama: “kecuali dalam urusan dunia”, takhsis ini tidaklah perlu, disebabkan karena dalam definisi tersebut telah dikhususkan bid’ah sesat itu dalam perkara agama.

Adapun takhsis yang kedua: “yang dilakukan khulafaur Rasyidin”, juga tidaklah perlu. Disebabkan karena adanya nash yang jelas yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dengan sabdanya:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَتِّي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْرَّاشِدِيْن اَلْمَهْدِيّيْنَ مِنْ بَعْدِي تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidin setelahku. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu”. ( Hadits Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi dari hadits Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu. Berkata Tirmidzi: Hadits Hasan Shahih)

Maka di dalam hadits ini terdapat dalil anjuran mengikuti sunnahnya khulafa’ur Rasyidin bersama dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, sebagai jalan keluar dari munculnya perpecahan yang akan terjadi. Berkata Ibnu Rajab dalam menjelaskan hadits ini:
“Ini merupakan pemberitaan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tentang apa yang terjadi pada umatnya berupa perselisihan yang banyak, baik dalam ushuluddin dan furu’nya, dalam amalan-amalan, perkataan dan keyakinan. Dan ini sesuai dengan yang diriwayatkan dari beliau tentang perpecahan umatnya menjadi 73 golongan dan semuanya dalam neraka kecuali satu golongan, yaitu siapa yang berjalan di atas jalannya dan para Shahabatnya. Oleh karena itu, dalam hadits ini perintah di saat terjadi perselisihan dan perpecahan agar berpegang teguh dengan sunnahnya, dan sunnahnya para Khulafa’ur Rasyidin setelahnya. Dan sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka mencakup komitmen dengan apa yang telah ditempuh oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para Khulafa’ur Rasyidin berupa aqidah, amalan dan perkataan.

Inilah sunnah yang sempurna, oleh karena itu para ‘Ulama salaf tidaklah memutlakkan nama sunnah kecuali bila mencakup hal tersebut secara menyeluruh”. (Jami’ul Ulum wal Hikam: 249)

Lalu beliau berkata: “(Dalam hadits ini) dalil bahwa sunnah Khulafa’ur Rasyidin juga diikuti seperti diikutinya sunnah berbeda dengan selain mereka dari para khalifah”. (Jami’ul Ulum wal Hikam: 249)

Dan yang dimaksud dengan istilah Khulafa’ur Rasyidin adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar bin Khattab, ‘Utsman bin Affaan, dan Ali bin Abi Thalib. Dan banyak dari kalangan para imam menyebutkan bahwa ‘Umar bin Abdil Aziz juga termasuk ke dalam Khulafa’ur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum. (Jami’ul Ulum wal Hikam:249)

Namun perlu diketahui bahwa yang menjadi hujjah yang dimaksud di dalam hadits tersebut bukan pendapat perseorangan dari mereka, namun yang termasuk hujjah adalah apa yang telah menjadi kesepakatan mereka dalam suatu urusan. Sebab di antara para Khulafa’ur Rasyidin tersebut telah terjadi perselisihan di kalangan mereka dalam berbagai masalah, dan bukanlah perkataan sebagian mereka menjadi hujjah terhadap yang lainnya. Maka fahamilah !!

Berkata Syinqithi rahimahullahu Ta’ala:

اِتِّفَاقُ الْخُلََفَاءِ الأَرْبَعَةِ لَيْسَ بِإِجْمَاعٍ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ وَالْصَّحِيْحُ أَنَّهُ حُجَّةٌ وَلَيْسَ بِإِجْمَاعٍ
“Kesepakatan empat khalifah bukanlah termasuk ijma’ menurut jumhur ‘Ulama, dan yang shahih bahwa itu adalah hujjah dan bukan ijma’”. ( Mudzakkirah fii Ushuul Al Fiqh, karangan Syinqithi: 181)

Dan apa yang menjadi kesepakatan para Khulafa’ur Rasyidin maka itulah yang disepakati oleh para shahabat. Namun jangan disalahpahami bahwa sunnah Khulafa’ur Rasyidin merupakan sunnah yang berdiri sendiri yang terlepas dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, sebab tidak ada yang haq kecuali dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Namun yang dimaksud adalah bahwa para Khulafa’ur Rasyidin tersebut senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.


Berkata Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullahu Ta’ala:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di saat memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya para Khulafa’ur Rasyidin tidaklah keluar dari salah satu di antara dua sisi”:
Pertama:
Ada kemungkinan bahwa beliau (Rasulullah shallalahu alaihi wasallam) membolehkan bagi mereka untuk membuat sunnah yang bukan sunnah Beliau. Maka ini tidaklah diucapkan oleh seorang muslim. Dan siapa yang membolehkan hal ini maka sungguh dia telah kafir, murtad, halal darahnya dan hartanya. Sebab agama ini secara keseluruhan ada yang wajib, dan ada yang tidak wajib, ada yang haram dan ada pula yang halal. Maka barangsiapa yang membolehkan bahwa para Khulafa’ur Rasyidin memiliki sunnah yang tidak disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka dia telah membolehkan bagi mereka untuk menghalalkan yang haram atau mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, ataukah menjatuhkan kewajiban yang telah diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan beliau tidak menggugurkan (kewajiban tersebut) hingga beliau wafat. Setiap sisi ini barangsiapa yang membolehkan sesuatu darinya maka dia kafir musyrik berdasarkan kesepakatan umat seluruhnya tanpa diperselisih-kan. Maka sisi ini adalah batil walhamdu lillah.

Kemungkinan kedua:
Diperintahkannya mengikuti mereka karena mereka senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Dan inilah pendapat kami, dan tidak ada kemungkinan lain (dari makna hadits tersebut) melainkan ini”. (Lihat Ahkamul Jum’ah wa Bida’uha, tulisan Syaikhuna Yahya al-Hajuri:166-168)

Adapun pendapat perseorangan dari mereka maka yang demikian bukanlah hujjah, oleh karenanya para ‘Ulama pun dari kalangan para Shahabat dan setelahnya terkadang menyelisihi pendapat mereka jika mereka melihat bahwa amalan mereka bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. (Lihat Jamiul Ulum wal Hikam: 251)

Bahkan ketika Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma melihat sebagian kaum muslimin lebih mengutamakan pendapat Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma daripada ketetapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wasallam, beliau pun marah dan berkata:

أَرَاهُمْ سَيَهْلِكُوْنَ أَقُولُ: قَالَ الْنَّبِيُّ صلى الله عليه وآله وسلم وَيَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُو بََكْرٍ وَعُمَرُ
“Aku melihat mereka akan binasa, aku berkata: “Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, mereka mengatakan: berkata Abu Bakar berkata ‘Umar.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abdil Bar, lihat Minhajul Firqah An - Najiyah. Muhammad Jamil Zainu: 159)

Masalah pembukuan mushaf Al-Qur’an, bahwa ini termasuk bid’ah yang diperbolehkan adalah tidak benar, karena beberapa sebab:

Pertama: Perkara ini terdapat dalilnya di dalam Al-Qur’an, yaitu firman Allah ‘‘Azza wa Jalla:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ

“Dan atas Kamilah mengumpulkan Al-Qur’an (di dadamu) dan membacanya”. (QS Al-Qiyamah: 17)

Maka di dalam ayat ini terdapat isyarat dianjurkannya mengumpulkan Al-Qur’an apakah dengan cara menghafalnya ataupun membukukannya, berdasarkan keumuman lafadz ayat yang mulia tersebut.

Kalau ada yang berkata: lalu mengapa di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak dibukukan? Jawabannya adalah: Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam masih ada pencegah dibukukannya, yaitu karena Al-Qur’an masih turun secara berangsur-angsur selama masa hidup beliau, dan terkadang Allah menghapus ayat yang dikehendaki-Nya, maka tatkala meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka mereka pun baru mengumpul-kannya disebabkan karena telah sempurnanya agama ini dan wahyu telah terputus. (Seperti kita ketahui bahwa Al-Qur’an tidak disusun secara urut berdasarkan turunnya ayat. Ayat yang turun lebih dahulu bisa saja diletakkan di akhir atau di tengah kitab dan sebaliknya. Sehingga membukukan Al-Qur’an pada waktu itu tentu saja sangat sulit bahkan tidak mungkin dilakukan -sekalipun pada saat itu sudah ada perangkat komputer yang dapat menginsertkan teks- selagi wahyu masih terus turun. - Ed) )

Kedua: Hal ini adalah merupakan perkara yang telah disepakati oleh seluruh para shahabat dan tidak ada satupun yang mengingkari-nya, dan ijma’ adalah salah satu hujjah di dalam Islam berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَجَارَ أُمَّتِي أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah melindungi umatku untuk bersepakat di atas kesesatan”. (Hadits Riwayat Ibnu Abi Ashim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (lihat kitab: Ilmu Ushul Bida’, karangan Ali Al Halabi, 232()

Adapun tentang adzan pertama di hari Jum’at, di zaman ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, maka jawabannya dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa adzan pertama tersebut merupakan ijtihad dari ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, dan beliau adalah salah satu di antara para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Dan salah seorang Shahabat apabila berijtihad lalu ada yang menyelisihinya dari Shahabat yang lain, maka pendapat sebagian Shahabat bukanlah hujjah terhadap Shahabat yang lain dan butuh melihat kepada yang rajih (kuat) di antara apa yang mereka perselisihkan tersebut. (Lihat Al-Muwafaqaat, karangan Asy-Syathibi, 3/251).)

Maka permasalahan inipun termasuk yang diperselisihkan di antara mereka. Telah diselisihi oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika beliau di Kuffah dan beliau hanya mengamalkan yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan tidak mengambil tambahan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu.

Dan demikian pula Abdullah bin ‘Umar berkata:

إِنَّمَا كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وآله وسلم إِذَا صَعِدَ الْمِنْبَرَ أَذَّنَ بِلاَلٌ, فَإِذَا فَرَغَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ خُطْبَتِهِ أَقَامَ الْصَّلاَةَ, وَاْلأَذَانُ الأَوَّلُ بِدْعَةٌ
“Sesungguhnya hanyalah Nabi shallalahu alaihi wasallam apabila naik ke mimbar maka Bilal mengumandangkan Adzan, apabila Nabi selesai dari khutbahnya ( Bilal ) menye-rukan iqomah, dan adzan pertama adalah bid’ah”. (Diriwayatkan oleh Abu Thahir dalam “Fawa’id-nya. Lihat kitab: Al-Ajwibah An-Nafi’ah, oleh Al-’Allamah Al-Albani: Hal: 11)

Oleh karena itu Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya “Al-Umm”:

وَأُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ الأَذَانُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ حِيْنَ يَدْخُلُ الإِمَامُ الْمَسْجِدَ وَيَجْلِسُ عَلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا فَعَلَ أَخَذَ الْمُؤَذِّنُ فِي الأَذَانِ فَإِذَا فَرَغَ قَامَ فَخَطَبَ لاَ يَزِيْدُ عَلَيْهِ
“Dan aku menyukai agar adzan pada hari Jum’at di saat imam masuk ke dalam masjid dan duduk di atas mimbar. Maka apabila (imam) telah melakukannya, muadzin pun mengumandangkan adzannya. Bila selesai berdirilah imam berkhutbah, jangan dia menambahnya”. ( Al-Ajwibah An-Nafi’ah: 11-12.)

Kedua: Bahwa ada dua sebab mengapa ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu menambah adzan pertama tersebut. Berikut ini riwayatnya: "Berkata Az-Zuhri rahimahullahu Ta’ala: telah mengabarkan kepada kami As-Saib bin Yazid: Bahwa adzan yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, awalnya adalah di saat imam duduk di atas mimbar, dan apabila telah ditegakkan shalat pada hari Jum’at di pintu masjid di zaman Nabi shallallahu laihi wasallam, Abu Bakar dan ‘Umar, maka tatkala di zaman khilafah ‘Utsman dan semakin banyak manusia, dan berjauhan rumah-rumah mereka, maka ‘Utsman memerintahkan pada hari Jum’at adzan yang ketiga (dalam riwayat lain: pertama, dalam riwayat lain: kedua) di atas rumah di pasar yang disebut Zaura’. Maka dikumandangkanlah di atas Zaura’, sebelum keluarnya (imam) agar manusia mengetahui bahwa Jum’at telah masuk, maka ditetapkanlah amalan tersebut. Dan manusia tidak mencelanya atas hal tersebut, padahal mereka telah mencela beliau ketika menyempurnakan shalat (di waktu safar ) di Mina. "(Hadits Riwayat Bukhari, Abu Dawud, An-Nasaai, Tirmidzi, dll)

Dari riwayat ini nampaklah bagi kita bahwa ‘Utsman tidaklah menambah adzan pada hari Jum’at melainkan disebabkan dua perkara:

Pertama: Semakin banyaknya manusia
Kedua: Berjauhannya rumah mereka

Dengan kedua sebab inilah menyebabkan mereka tidak dapat mendengarkan adzan dikumandangkan, sehingga beliau menganggap kemaslahatan dengan ditambahnya adzan tersebut. Sehingga sebagian para ‘Ulama menggolongkan hal ini termasuk kedalam maslahah mursalah. Maka apakah kedua illat (sebab) tersebut ada di zaman sekarang??

Berkata Al-Albani rahimahullahu Ta’ala: “Kami tidak berpen-dapat untuk mengikuti apa yang dilakukan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu secara mutlak tanpa syarat, sebab telah kita jelaskan bahwa ‘Utsman hanyalah menambah itu disebabkan karena ada illah ma’qulah (sebab yang masuk akal) yaitu banyaknya manusia dan berjauhannya tempat tinggal mereka dari masjid nabi. Maka barangsiapa yang berpaling dari sebab ini, dan berpegang kepada adzan ‘Utsman secara mutlak, maka dia tidak mengikuti ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, bahkan menyelisihinya, karena dia tidak memper-hatikan dengan mata ilmu terhadap sebab yang kalau tidak ada sebab tersebut, maka tentunya ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu tidak melakukan penambahan atAs-Sunnah yang ada dan sunnahnya dua khalifah setelahnya.” (Al-Ajwibatun Nafi’ah: 9)

Adapun tentang shalat tarawih secara berjama’ah di zaman ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, maka sungguh sangatlah keliru jika ini termasuk dalam kategori bid’ah di dalam istilah syar’i, sebab shalat berjama’ah tarawih termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Sebagaimana yang terdapat dalam shahih Bukhari dari hadits Aisyah radhiyallahu anha berkata: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam shalat di masjid pada suatu malam lalu shalatlah bersama beliau beberapa orang, kemudian shalat di malam berikutnya maka semakin bertambah manusia (yang shalat), lalu di saat mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak keluar bersama mereka, maka tatkala di pagi hari beliau berkata:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنَي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ علَيْكُمْ
“Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar melainkan khawatir diwajibkan atas kalian”.

Dan itu terjadi di bulan Ramadhan”. (Shahih Bukhari, kitab At-Tahajjud: 1129)

Maka hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa berjama’ah di malam hari ramadhon tersebut adalah hal yang sunnah. Karena telah dikerjakan beberapa malam oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Dan beliau meninggalkannya hanya karena khawatir diwajibkan atas umatnya, sebab zaman beliau adalah zaman turunnya wahyu yang menyebabkan beliau khawatir diwahyukan sesuatu yang menjadikan kewajiban atas mereka sehingga mereka lemah dalam mengamalkannya. Adapun setelah meninggalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam maka telah hilang sebab kekhawatiran tersebut dan agama telah sempurna, maka kembali ke hukum semula yaitu dianjurkannya hal tersebut. Lalu tiba zaman kekhilafahan Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dan belum ditegakkan sunnah tersebut karena disebabkan salah satu dari dua perkara:

Pertama: Mungkin beliau melihat bahwa shalat di akhir malam lebih afdhal dari pada mengumpulkannya di awal malam.

Kedua: Kesibukan beliau menghadapi berbagai perkara dalam pemerintahannya, seperti memerangi orang yang murtad dan yang enggan membayar zakat, melanjutkan pengiriman pasukan yang sempat tertunda di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan sebagainya.

Maka di saat tiba masa kekhilafahan ‘Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu maka beliau pun memiliki kesempatan untuk mengumpulkan kaum muslimin pada imam yang satu untuk shalat berjama’ah di malam Ramadhan tersebut. Sehingga apa yang beliau katakan:
نِعْمَتُ الْبِدْعَةِ هَذِهِ
“Ini adalah sebaik-baik bid’ah”
Yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa, bukan secara istilah, maka fahamilah wahai orang –orang yang diberi akal! ( Lihat: Mauqif AhlisSunnah:1/109-110. )

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala: “Ini adalah penamaan secara bahasa, bukan penamaan syar-’iyyah. Sebab bid’ah secara bahasa mencakup seluruh apa yang dilakukan pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya. Adapun bid’ah secara syar’i yaitu apa-apa yang tidak ada penunjukannya dalam syari’at. Maka apabila nash Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menunjukkan atas disukainya suatu amalan, atau diwajibkannya setelah beliau meninggal, atau terdapat penunjukannya secara mutlak, dan belum dilakukan kecuali setelah meninggalnya beliau seperti kitab sedekah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Maka apabila diamalkan hal tersebut setelah beliau meninggal, benar untuk dikatakan bid’ah secara bahasa, sebab itu adalah amalan yang pertama, sebagaimana agama yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga dikatakan bid’ah dan dinamakan perkara baru (bid’ah) secara bahasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh utusan Quraisy ke raja Najasyi tentang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang berhijrah ke Habasyah: “Sesungguhnya mereka ini keluar dari agama nenek moyang mereka, dan tidak masuk ke dalam agama sang raja, mereka datang membawa agama yang baru yang tidak diketahui”. (Iqtidho’ ash-Shirotol Mustaqim.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: 1/593)

Adapun takhsis yang ketiga yang disebutkan oleh Ahmad Dimyathi: “Kecuali ijtihad-nya para imam mujtahid” adalah pentakhsisan yang sungguh aneh, bagaimana mungkin hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bisa ditakhsis oleh sesuatu yang datang berikutnya dari ijtihad para Imam mujtahid?

Sepertinya saudara Ahmad Dimyathi tidak bisa membedakan mana kesalahan yang dimaafkan karena ijtihad, dan mana sesuatu yang dihukumi sebagai bid’ah atau penyimpangan walaupun berasal dari seorang mujtahid. Berkata salah seorang penyair:

العِلْمُ قَالَ الله قَالَ رَسُوْلُهُ قَالَ رَسُوْلُهَ لَيْسَ بِالْتَّمْوِيْهِ
مَاالْعِلْمُ نَصْبُكَ لِلْخِلاَفِ سَفَاهَةً بَيْنَ الرَّسُوْلِ وَبَيْنَ قَوْلِ فَقِيْهٍ

“Ilmu itu adalah berkata Allah, berkata Rasulullah, dan berkata shahabat, tidaklah terkaburkan.

Bukanlah ilmu tatkala engkau menjadikan sebagai perselisihan antara perkataan Rasulullah dengan perkataan seorang yang faqih karena kebodohan.”

Perlu kita mendudukkan masalah ini sesuai pada tempatnya, yaitu bahwa seorang mufti diberikan wewenang dalam syari’at untuk berfatwa sesuai dengan apa yang difahaminya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dan terkadang tidak sedikit dari mereka yang berfatwa namun fatwa tersebut menyelisihi yang benar, dengan berbagai macam sebab, apakah karena belum sampai kepadanya suatu hadits yang telah sampai dan diketahui oleh mujtahid yang lain, atau telah sampai kepadanya namun beliau memiliki dalil lain yang menyelisihi dalil tersebut yang ternyata riwayat tersebut lemah, atau dengan sebab yang lainnya. (Lihat kitab: Raf’ul Malam an Aimmatil A’laam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: 9-34, Lihat pula kitab Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Al- Khilaf bainal ‘Ulama)

(Disalin dari "Bid'ah 'Amaliyah Dzikir Taubat, Bantahan terhadap 'Arifin Ilham Al Banjari", Penulis: Al Ustadz Abu Karimah 'Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'i, Yaman. Diterbitkan dalam buku berjudul "Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham Dan Para Pendukungnya" oleh penerbit Darus Salaf Darus Salaf Press, Wisma Harapan Blok A5 No. 5 Gembor, Kodya Tangerang HP. 081316093831 Email: darussalafpress@plasa.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar