goresan hidup seorang biduan

Sabtu, 08 Oktober 2011

Iman Kepada Nabi uhammad SAW

almanhaj.or.id
Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
IMAN KEPADA NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terakhirdari Dua Tulisan 2/2
Konsekuensi Dan Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
[A]. Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya peng-agungan, memuliakan,
meneladani beliau dan men-dahulukan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk
serta mengagungkan Sunnah-Sunnahnya.
[B]. Mentaati apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan Allah memerintahkan setiap
Muslim dan Muslimah untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena dengan taat kepada
beliau menjadi sebab seseorang masuk Surga.
Kita wajib mentaati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menjalankan apa yang diperintahkannya dan
meninggalkan apa yang dilarangnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari syahadat (kesaksian) bahwa beliau
adalah Rasul (utusan) Allah. Dalam banyak ayat Al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita
untuk mentaati Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya ada yang diiringi dengan perintah
taat kepada Allah, sebagaimana firman-Nya
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya...” [An-Nisaa': 59]
Tekadang pula Allah mengancam orang yang mendur-hakai Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
"Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa
adzab yang pedih” [An-Nuur: 63]
Artinya hendaknya mereka takut jika hatinya ditimpa fitnah kekufuran, nifaq, bid’ah atau siksa pedih di dunia,
baik berupa pembunuhan, had, pemenjaraan atau siksa-siksa lain yang disegerakan. Allah telah menjadikan
ketaatan dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebab hamba mendapatkan kecintaan
Allah dan ampunan atas dosa-dosanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan ketaatan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai petunjuk
dan mendurhakainya sebagai suatu kesesatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [An-Nuur : 54]
Allah mengabarkan bahwa pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik bagi
segenap ummatnya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
meng-harap (rahmat) Allah dan kedatangan hari Kiamat dan dia banyak menyebut Nama Allah” [Al-Ahzaab:
Halaman 1
almanhaj.or.id
21]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ayat yang mulia ini adalah pokok yang agung tentang
meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai perkataan, perbuatan dan perilakunya.
Untuk itu, Allah ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáóì memerintahkan manusia untuk meneladani sifat sabar, keteguhan,
kepahlawanan, perjuangan dan kesabaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menanti pertolongan dari
Rabb-nya Azza wa Jalla ketika perang Ahzaab. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat dan salam
kepada beliau hingga hari Kiamat.”[1]
[C]. Membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak berkata menurut hawa nafsunya.
[D]. Menahan diri dari apa yang dilarang dan dicegah oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"...Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkan-lah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al-Hasyr:
7]
[E]. Beribadah sesuai dengan apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam syari’atkan, atau dengan kata lain
ittiba’ kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengajarkan ummat Islam tentang bagaimana cara
yang benar dalam beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan
semuanya. Oleh karena itu, ummat Islam wajib ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
mereka mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kejayaan dan dimasukkan ke dalam Surga-Nya.
Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya adalah wajib, dan ittiba’ menunjukkan
kecintaan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan
mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"[Ali ‘Imran: 31]
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat ini adalah pemutus hukum bagi setiap orang
yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Ra-sulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka orang itu dusta dalam pengakuannya tersebut hingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya”[2]
Di antara tanda cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengamalkan
Sunnahnya, menghidupkan, dan mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkannya, serta berjuang membela
As-Sunnah dari orang-orang yang mengingkari As-Sunnah dan melecehkannya. Termasuk cinta kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menolak dan mengingkari semua bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah
adalah sesat.[3]
[F]. Anjuran Bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[4]
Halaman 2
almanhaj.or.id
Di antara hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
ummatnya adalah agar mereka mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan para Malaikat-Nya telah bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah Subhanahu
wa Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya agar mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya ber-shalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]
Diriwayatkan bahwa makna shalawat Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pujian Allah atas
beliau di hadapan para Malaikat-Nya, sedang shalawat Malaikat berarti mendo’akan beliau, dan shalawat
ummatnya berarti permohonan ampun bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Dalam ayat di atas, Allah telah menyebutkan tentang kedudukan hamba dan Rasul-Nya Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tempat yang tertinggi, bahwasanya Dia memujinya di hadapan para
Malaikat yang terdekat, dan bahwa para Malaikat pun mendo’akan untuknya, lalu Allah memerintah-kan
segenap penghuni alam ini untuk mengucapkan shalawat dan salam atasnya, sehingga bersatulah pujian untuk
beliau di alam yang tertinggi dengan alam terendah (bumi).
Adapun makna: “Ucapkanlah salam untuknya” adalah berilah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
penghormatan dengan penghormatan Islam. Dan jika bershalawat kepada Nabi Muhammad hendaklah
seseorang menghimpunnya dengan salam untuk beliau. Karena itu hendaknya tidak membatasi dengan salah
satunya saja. Misalnya dengan mengucapkan: “Shallallaahu ‘alaih (semoga shalawat dilimpahkan untuknya)”
atau hanya mengucapkan: “‘alaihis salaam (semoga dilimpahkan baginya keselamatan).” Hal itu karena Allah
memerintahkan untuk mengucapkan keduanya.
Mengucapkan shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh syari’at pada
waktu-waktu yang dipentingkan, baik yang hukumnya wajib atau sunnah mu-akkadah. Dalam kitab Jalaa'ul
Afhaam, Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan 41 waktu (tempat). Beliau rahimahullah memulai dengan
sesuatu yang paling penting yakni ketika shalat di akhir tasyahhud. Di waktu tersebut para ulama sepakat
tentang disyari’atkan-nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara waktu lain yang
beliau sebutkan adalah di akhir Qunut, kemudian saat khutbah, seperti khutbah Jum’at, hari raya dan istisqa’,
kemudian setelah menjawab adzan, ketika berdo’a, ketika masuk dan keluar dari masjid, juga ketika menyebut
nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kaum Muslimin tentang tatacara
mengucapkan shalawat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memperbanyak
membaca shalawat kepadanya pada hari Jum’at.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ÃóßúËöÑõæÇ ÇáÕøóáÇóÉó Úóáóíøó íóæúãó ÇáúÌõãõÚóÉö æóáóíúáóÉó ÇáúÌõãõÚóÉö¡ Ýóãóäú Õóáøóì
Úóáóíøó ÕóáÇóÉð Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö ÚóÔúÑðÇ.
"Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at. Barangsiapa yang
ber-shalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali”[5]
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa manfaat dari mengucapkan shalawat untuk
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau menyebutkan ada 40 manfaat. Di antara manfaat itu adalah
Halaman 3
almanhaj.or.id
1. Shalawat merupakan bentuk ketaatan kepada perintah Allah.
2. Mendapatkan 10 kali shalawat dari Allah bagi yang bershalawat sekali untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
3. Diharapkan dikabulkannya do’a apabila didahului dengan shalawat tersebut.
4. Shalawat merupakan sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ketika
mengucapkan shalawat diiringi dengan permohonan kepada Allah agar memberikan wasilah (kedudukan yang
tinggi) kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Kiamat.
5. Shalawat merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.
6. Shalawat merupakan sebab Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab orang yang mengucapkan shalawat
dan salam kepadanya.[6]
Tetapi tidak dibenarkan mengkhususkan waktu dan cara tertentu dalam bershalawat dan memuji beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali berdasarkan dalil shahih dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Para ulama
Ahlus Sunnah telah banyak meriwayat-kan lafazh-lafazh shalawat yang shahih, sebagaimana yang telah
diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum
Di antaranya adalah:
Çóááøóåõãøó Õóáöø Úóáóì ãõÍóãøóÏò æóÚóáóì Âáö ãõÍóãøóÏò ßóãóÇ ÕóáøóíúÊó Úóáóì ÅöÈúÑóÇåöíúãó
æóÚóáóì Âáö ÅöÈúÑóÇåöíúãó Åöäøóßó ÍóãöíúÏñ ãóÌöíúÏñ¡ Çóááøóåõãøó ÈóÇÑößú Úóáóì ãõÍóãøóÏò
æóÚóáóì Âáö ãõÍóãøóÏò ßóãóÇ ÈóÇÑóßúÊó Úóáóì ÅöÈúÑóÇåöíúãó æóÚóáóì Âáö ÅöÈúÑóÇåöíúãó
Åöäøóßó ÍóãöíúÏñ ãóÌöíúÏñ.
“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah
mem-berikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi
Mahamulia. Ya Allah, berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau
telah mem-beri berkah kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi
Mahamulia.”[7]
Di antara contoh shalawat-shalawat yang bid’ah adalah:
1. Shalawat thibbul qulub
2. Shalawat naariyah, serta adanya keyakinan bathil bahwa barangsiapa yang membacanya 4444 kali maka
akan dilapangkan kesulitannya. Shalawat naariyah ini mengandung kesyirikan.
3. Shalawat al-faatih, serta adanya anggapan bahwa mem-baca shalawat ini lebih baik daripada membaca
Al-Qur'an, dan lain-lainnya. Shalawat al-faatih ini adalah perbuatan bid’ah.
4. Shalawat basyisyiyah.[8]
Setiap muslim harus menjauhkan semua bentuk shalawat bid’ah yang tidak ada asalnya dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan wajib ber-pegang kepada hadits-hadits shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, karena apa yang beliau ajarkan sudah cukup dan memadai, tidak boleh ditambah lagi.
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi yang mulia ini, juga bagi keluarga
beliau, para Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti jejak beliau hingga hari Kiamat.
Larangan Ghuluw (Berlebih-lebihan) Dalam Memuji Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam .
Ghuluw artinya melampaui batas.
Dikatakan: “ ÛóáÇó íóÛúáõæ ÛõáõæøðÇ ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman:
Halaman 4
almanhaj.or.id
"Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa': 171]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ÅöíøóÇßõãú æóÇáúÛõáõæøó Ýöí ÇáÏöøíúäö¡ ÝóÅöäøóãóÇ Ãóåúáóßó ãóäú ßóÇäó ÞóÈúáóßõãú
ÇóáúÛõáõæøõ Ýöí ÇáÏöøíúäö.
"Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw ini
telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”[9]
Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada
orang shalih atau orang yang dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta
dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.
Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji serta berbohong karenanya. Dan
yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melampaui batas dalam
menyanjungnya, sehingga meng-angkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan) Allah,
menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu misalnya dengan memohon dan meminta
pertolongan kepada beliau, tawassul dengan beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau,
bersumpah dengan nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
perbuatan ini adalah syirik.
Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berlebih-lebihan
dalam memujinya, padahal beliau telah melarang hal tersebut melalui sabda beliau:
áÇó ÊõØúÑõæúäöí ßóãóÇ ÃóØúÑóÊö ÇáäøóÕóÇÑóì ÇÈúäó ãóÑúíóãó¡ ÝóÅöäøóãóÇ ÃóäóÇ ÚóÈúÏõåõ¡
ÝóÞõæúáõæúÇ ÚóÈúÏõ Çááåö æóÑóÓõæúáõåõ.
"Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan
memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba
Allah dan Rasul-Nya).’”[10]
Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam
memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihis Sallam,
sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku
memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[11]
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi bani ‘Amir
untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid
(penghulu) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
ÇóáÓøóíöøÏõ Çááåõ ÊóÈóÇÑóßó æóÊóÚóÇáóì.
“Sayyid (penghulu) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Serta merta
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
Halaman 5
almanhaj.or.id
ÞõæúáõæúÇ ÈöÞóæúáößõãú Ãóæ ÈóÚúÖö Þóæúáößõãú æóáÇó íóÓúÊóÌúÑöíóäøóßõãõ ÇáÔøóíúØóÇäõ.
"Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan
jangan-lah sampai kalian terseret oleh syaitan”[12]
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah,
wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan
putera penghulu kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ ÞõæúáõæúÇ ÈöÞóæúáößõãú æóáÇó íóÓúÊóåúæöíóäøóßõãõ ÇáÔøóíúØóÇäõ¡
ÃóäóÇ ãõÍóãøóÏñ¡ ÚóÈúÏõ Çááåö æóÑóÓõæúáõåõ¡ ãóÇ ÃõÍöÈøõ Ãóäú ÊóÑúÝóÚõæúäöíú ÝóæúÞó
ãóäúÒöáóÊöí ÇáøóÊöíú ÃóäúÒóáóäöíó Çááåõ ÚóÒøó æóÌóáøó.
“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaitan,
aku adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di
atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku. [13]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan
seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang
paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal sudah diketahui
sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian,
beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam
menyanjung hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang
merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan
‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, ber-sumpah dengan namanya
serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang
mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi j, dalam kasidah atau anasyid, dimana mereka tidak
membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Setiap muslim wajib mengetahui bahwa di antara faktor yang menyebabkan manusia menjadi kafir dan
meninggalkan agama mereka yaitu sikap berlebih-lebihan kepada orang-orang shalih, seperti yang terjadi pada
kaum Nabi Nuh Alaihissalam
"Dan mereka berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, tidak juga suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr.’” [QS. Nuh:
23][14]
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
[1]. Tafsiir Ibni Katsir (III/522-523), cet. Daarus Salaam.
[2]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/384), cet. Daarus Salam.
[3]. Sebagian contoh-contoh bid’ah yang masih dilakukan kaum Muslimin seperti: Perayaan dan peringatan
Halaman 6
almanhaj.or.id
Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, perayaan Isra’ Mi’raj, tawassul dengan orang mati, membangun
kubur, dan yang lainnya. Semua ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya.
[3]. Bahasan tentang shalawat selengkapnya dapat dilihat pada kitab Jalaa-ul Afhaam fii Fadhlish Shalaah was
Salaam ‘alaa Muhammad Khairil Anaam (hal. 453-556), karya al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,
dengan tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.
[4]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 158).
[5]. HR. Al-Baihaqi (III/249) dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, sanad hadits ini hasan. Lihat Silsilatul
Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1407) oleh Syaikh al-Albani rahimahullah
[6]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 158-159).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 3370/Fat-hul Baari (VI/408)), Muslim (no. 406), Abu Dawud (no. 976, 977, 978),
at-Tirmidzi (no. 483), an-Nasa-i(III/47-48), Ibnu Majah (no. 904), Ahmad (IV/243-244) dan lain-lain, dari
Sahabat Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu 'anhu.
Untuk mengetahui lafazh-lafazh shalawat lainnya yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi j dapat dilihat
dalam buku Do’a dan Wirid (hal. 178-180), oleh penulis, cet. VI/ Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta, th. 2006
M.
[8]. Lihat Minhaaj al-Firqatin Naajiyah wat Thaa'ifah al-Manshuurah ‘ala Dhau-il Kitaab was Sunnah (hal.
116-122) oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dan Mu’jamul Bida’ (hal. 345-346).
[9]. HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan
lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim.
Dishahihkan oleh Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[10]. HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il al-Muhammadiyyah (no. 284),
Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan yang lainnya, dari Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab z.
[11]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151).
[12]. HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no 211/ Shahiihul
Adabil Mufrad no 155), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqalani berkata: “Rawi-rawinya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fat-hul Baari
V/179)
[13]. HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 249, 250) dan
al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari
Sha-habat Anas bin Malik z.
[14]. Lihat Fat-hul Majid Syarah Kitabut Tauhid bab 18.
(taken from http://almanhaj.or.id)
Halaman 7

1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus