goresan hidup seorang biduan

Senin, 24 Desember 2012

PEMBERIAN GELAR HAJI / HAJAH, WAJIB KAH ?



“ Saya ini sudah naik Haji dua kali, kamu jangan coba macam-macam dengan saya”  Kira-kira itulah salah satu skrip dialog H. Muhidin yang bisa kita simak di sinetron “ Tukang Bubur Naik Haji “.

Berbicara mengenai Haji, sebagaimana yang telah kita ketahui, Haji merupakan rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan oleh kaum muslim yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam definisi di atas bahwa kegiatan Haji itu hanya diwajiban bagi umat islam yang sudah mampu. Memang bukanlah hal yang mudah untuk bisa menunaikan ibadah haji. Tidak seperti ibadah lainnya, seperti puasa, dimana semua umat islam bisa menjalaninya, tak jadi masalah apa dia miskin atau kaya, selama dia sudah baligh dan memiliki badan dan akal yang sehat, dia bisa melakukan ibadah puasa. Sementara Haji hanya diwajibkan bagi mereka yang sudah memiliki perbekalan yang cukup, baik untuk dirinya maupun untuk keluarga yang ditinggalkannya. Selain itu, calon jemaah Haji juga harus memiliki kondisi fisik dan  stamina yang bagus berhubung banyak sekali rukun haji yang lumayan menguras tenaga seperti tawaf, sa’i, dan melontar jumrah.

Mengingat begitu besarnya pengorbanan yang harus dilakukan oleh seorang jemaah haji, tidak lah heran kalau pahala bagi yang ibadah haji nya mabrur adalah Surga, sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Haji mabrur itu tidak ada balasannya melainkan surga” (HR. Bukhari dan Muslim).
 Meskipun demikian, dengan mengingat begitu besarnya pengorbanan dalam melaksanakan ibadah haji, apakah lantas ajaran islam mengharuskan dituliskannya gelar Haji atau Hajah pada kartu nama, KTP, atau Surat Nikah. Demi Allah, tidak ada satu Firman Allah atau Hadits Nabi pun yang meganjurkan diberikannya penggelaran Haji seperti itu. Bahkan Nabi Muhammad SAW. yang notaben nya hamba yang maksum dan telah berhaji lebih dari dari satu kali pun tidak tertera gelar Haji di depan nama beliau.

Terus bagaimana  yang terjadi di masyarakat kita ? Gelar Haji seolah sudah jadi suatu keharusan yang diberikan kepada mereka yang telah berhaji ke tanah suci. Gelar haji sudah seperti gelar akademik yang biasa diberikan kepada Mahasiswa yang lulus setelah bersusah payah bergelut dengan mata kuliah dan skripsi nya.

Pemberian gelar Haji memang hanya sebatas masalah budaya. Tidak ada satu pun institusi di Negara kita yang secara khusus memberikan gelar atau pun sertifikat Haji. Pemberian gelar Haji seolah mengalir begitu saja di masyarakat. Pokoke setiap orang yang telah berhaji kudu di sebut “Pak Haji” atau “Bu Hajah”.

Budaya penggelaran Haji seperti itu memang ada sisi positif nya tapi mudharat nya lebih banyak. Sisi positif nya, dengan adanya penyebutan “Pak Haji” atau “ Bu Hajah”, seseorang secara tidak langsung memberikan ucapan selamat sebagai simbol penghargaan. Dalam ajaran islam juga kita dianjurkan untuk  saling menghormati dan saling menghargai, bukan hanya dengan saudara seiman tapi juga dengan saudara kita yang berbeda agama. Memberikan ucapan selamat adalah salah satu contohnya.

Penghargaan dengan memberi gelar haji memang tidak salah, tapi ada beberapa hal yang dikhawatirkan dengan adanya penggelaran seperti itu. Kadang justru dengan penggelaran seperti itu bisa memancing “Pak Haji” dan “Bu Haji” tersebut untuk bersikap riya dan ujub. Masih mending kalau pribadinya memang bersih dan rendah hati, nah giliran jatuhnya pada yang memang gila akan pujian dan penghargaan, maka sikap riya tidak bisa dihindarkan lagi. Sebagaimana yang kita telah ketahui bersama bahwa riya itu merupakan salah satu penyakit hati yang berbahaya. Al Qurthubi mengatakan,” hakekat riya adalah mencari apa yang ada di dunia dengan ibadah dan arti asalnya adalah mencari tempat di hati manusia”[lihat: Al Ikhlas, DR Umar Sulaiman Al Asyqor]. Disamping itu, Rasulullah SAW bersabda,” Tiga perkara yang membinasakan, yaitu hawa nafsu jika dituruti, kebakhilan (kikir/pelit) yang ditaati, dan kebanggan seseorang terhadap dirinya.” [HSR AbuSyaikh dan Thabrani dalam Mu’jam Ausath-lihat : Shahih Jami’us Shaghir no 3039]

Semakin banyak dan semakin sering orang-orang menyapanya “ Pak Haji” atau “ Bu Hajah”, maka hal itu bisa jadi semacam stimulus atau pemancing untuk membanggakan-banggakan diri, merasa dirinya sudah haji dan memegang tiket surga dengan haji mabrurnya, bisa membuatnya merasa dirinya paling suci dan berderajat paling tinggi. Padahal dalam islam derajat kemuliaan seseorang tidak diukur oleh tigginya gelar atau banyak nya harta. Satu-satunya yang meninggikan derajat seseorang hanyalah ketakwaannya.

Kita memang tidak tidak bisa menilai baik buruk nya budaya secara sepihak. Tapi terlepas dari itu semua, sebagai umat islam kita wajib menjadikan Al-quran dan Al-adits sebagai panduan sempurna dalam menilai segala sesuatu. Budaya apa saja selama itu sesuai dengan Al-quran dan Al-hadits, kita lestarikan. Dan mana saja budaya yang banyak bertentangan dengan Al-quran dan Al-hadits kita tinggalkan.

Kesimpulannya, gelar haji tidak bisa dijadikan jaminan seseorang sebagai pribadi yang suci dan bebas dosa, justru dengan penggelaran Haji semacam itu bisa menjerumuskan dirinya pada sikap riya dan takabur yang balasannya justru Neraka. Apalah artinya gelar suci yang menempel pada nama orang yang berhati busuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar