Seringkali saya merasa risih dengan
harapan orang tua yang kadang terelalu muluk akan masa depan anaknya. Tidak
heran kalau mereka mati-matian mewanti-wanti anaknya untuk bisa mencapai prestasi
setinggi mungkin, khusunya prestasi di sekolah. Tidak sedikit orang tua yang
merasa sangat bangga karena anaknya mendapat ranking satu di sekolahnya. Sementara
orang tua lainnya mengutuk habis-habisan anakya yang mendapatkan nilai yang
jelek dan tidak masuk ranking.
Fenomena seperti itu memanglah wajar
bahwasannya orang tua memang selalu mengharapkan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Tapi satu hal yang harus disadari orang tua, yaitu bahwa prestasi sekolah
bukanlah hal utama dan satu-satunya yang dijadikan patokan anak bisa menjadi sukses.
Tidak jarang saya melihat seorang anak yang prestasinya biasa-biasa saja waktu sekolah,
tapi toh bisa sukses juga pada saat dia dewasa bahkan kesuksesannya mengalahkan
teman-temannya yang lain yang waktu di sekolah terbilang anak pintar dan selalu
juara kelas.
Tidaklah salah kalau banyak orang yang
berpendapat bahwa IQ bukanlah satu-satunya faktor penentu sukses atau tidaknya
seseorang. Ada faktor lainnya yang labih penting yaitu faktor EQ yang mencakup
sejauh mana dia bisa berhubungan dengan baik dengan orang lain, berempati,
peduli dan turut merasakan apa yang orang lain alami. Sikap seperti ini lah
yang bisa membuat orang lain merasa nyaman. Ujung-ujungnya kalau orang lain
sudah merasa nyaman bergaul dengannya
maka jadilah dia teman baik yang bisa dipercaya, baik itu dalam cakupannnya sebagai relasi kerja maupun
hubungan yang lebih personal lagi. Intinya orang yang EQ nya tinggi itu pasti
disukai banyak orang dan relasinya banyak.
Lain halnya dengan orang yang hanya
memiliki IQ yang briliant tanpa diimbangi dengan tingginya EQ. Biasanya orang
yang kayak gini terkesan egois. Maklumlah pola pikirnya cenderung kaku dan
menerima hal-hal yang sekiranya logis saja. Untuk orang yang kayak gini konsep
sedekah pun bisa jadi dianggap sebagai amalan yang hanya menghambur-hamburkan
harta saja. Harap maklumlah, pola pikirnya kan kaku dan logis. Maka dari itu, tak
heran lah kalau orang mencapnya sebagai orang yang pelit bin koret. Akibatnya, tidak aka ada orang yang mau berteman
dengan orang yang perhitungan kayak gini. Maka berkuranglah jumlah teman yang
dia punya. Itu baru dari sikap pelitnya, belum lagi dari sikapnya yang cenderung
egois dan mau menang sendiri tanpa mau peduli dengan perasaan orang lain. Ya
wajarlah kalau banyak orang yang enggan berteman dengan tipe orang seperti ini.
Baiklah, kalau mau diasumsikan,
biasanya orang yang ber IQ tinggi itu sekolahnya tinggi-tinggi, sertifikat dan
piala penghargannya nya pun seabreg, belum lagi prestasi akademik yang Cumlaud. Singkatnya mereka sukses besar
secara akademik. Namun sayangnya tidak jarang tipe orang seperti ini malah
gagal dalam menjalani kehidupan nyata,
khususnya kegagalannya dalam menoreh prestasi Finansial. Tingginya
izajah dan bergengsinya sertifikat penghargaan hanya mampu mengantarkannya pada
perusahaan bonafide sebagai seorang karyawan. Sementara yang namanya karyawan,
sebesar apapun dia dapat gaji, tidak akan mengalahkan besarnya keuntungan yang
diperoleh oleh seorang pemilik perusahaan.
Memang hal yang sangat membanggakan
kalau kita dapat prestasi yang gemilang di dunia pendidikan. Tapi sangatlah
tidak bisa diterima kalau kita berasumsi bahwa gemilangnya prestasi di sekolah
adalah cerminan dari suksesnya masa depan seseorang. Kadang Ganasnya tantangan
kehidupan nyata jauh lebih rumit dari susahnya penyelesaian Algoritma di bangku
kuliah. Singkatnya, dilihat dari sisi ekonomi, bisa katakan bahwa Indeks Prestasi Kumulatif tidak
berbanding lurus dengan Indeks Pendapatan
Kumulatif.
Memang sih, semua orang maunya kondisi
yang ideal. Sukses di semua lini kehidupan, gemilang dan berprestasi di bangku
kuliah juga sukses di kehidupan nyata. Namun apa mau dikata, hanya satu dua
orang yang bisa seperti itu. Lagian juga, jika dilihat dari sistem pendidikan
di negara kita, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin kiri pola pikirnya
dan semakin mati kreativitasnya. Yang diasah hanya potensi IQ tanpa
memperdulikan perkembangan EQ.
Sementara itu, banyak sekali contoh
orang-orang sukses yang dihormati dan disegani padahal mereka tidak memiliki
ijazah sama sekali, bahkan bisa dibilang mereka adalah orang-orang yang sering
dicap Bodoh di sekolah. Tapi dalam kehidupan nyata mereka bisa membuktikan
kalau sekolah dan izajah bukanlah segalanya untuk memperoleh hidup bahagia. Di bahwah
ini saya cantumkan beberapa orang sukses tanpa mengandalkan izajah :
Sukses menjadi kiayi dan wirausahawan tanpa ijazah. Walaupun sudah lulus, tapi ijazahnya belum diambil hingga saat ini.
Sekolah Dasar Tidak Tamat, adalah gelar yang disandangnya saat ini. Masa kecil dan remajanya dilalui dengan membantu orangtuanya.
Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.
Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Hamka mendapat pendidikan di Sekolah Dasar Maninjau hingga kelas dua.
Kuliah di 4 jurusan yang berbeda. Hanya saja ia merasa tidak
mendapatkan apa-apa dengan pola kuliah yang menurutnya membosankan
hingga akhirnya dia nekad meninggalkan kuliahnya. Lembaga Bimbingan
Belajar (Bimbel) Primagama yang didirikannya bahkan masuk ke Museum
Rekor Indonesia (MURI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar