Kehidupan manusia memang tidak lah monoton. Senang, kecewa,
tangis, tawa, duka dan cita kerap sekali dialami manusia hampir setiap hari.
Berbagai cara pun dilakukan manusia untuk bisa hidup bahagia. Namun sayangnya,
dalam upaya keaarah sana, kita sering menjadikan orang-orang dan barang-barang
berharga disekitar kita sebagai sandaran dan patokan kebahagiaan. Mobil mewah
dan rumah megah sering kita jadikan alat untuk mendapatkan penghargaan dari
orang lain. Tak jarang pula kita merasa stress dan tertekan ketika barang
berharga yang kita punyai itu lenyap. Dalam kondisi seperti itu, kita sering
merasa khawatir akan turunnya harkat dan
martabat kita di masyarakat. Itu semua terjadi karena kita telah menjadikan
harta, rumah, perhiasan dan pujian orang lain sebagai tuhan kecil yang jadi sandaran
hidup.
Perasaan khawatir dan takut kehilangan
tidak akan pernah terjadi seandainya kita menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sandaran hidup. Perbuatan apapun yang kita lakukan haruslah dengan niatan untuk
mencari ridho Alloh, bukan ridho manusia. Selama kita menjadikan ridho manusia
sebagai tujuan hidup kita, maka selama itu pula kita akan selalu kecewa. Kita
tidak mungkin bisa mewujudkan semua keinginan orang-orang disekitar kita sacara
merata. Apapun keputusan yang kita ambil sudah pasti akan menimbulkan pro dan
kontra. Tidak akan semuanya 100 % setuju. Itu sudah jadi resiko.
Selama kita mengambil keputusan secara bijak dan sesuai
prosedur yang benar, tidaklah seharusnya kita merasa khawatir akan terjadinya
penentangan keras dari pihak yang merasa dirugikan akan keputusan kita.
Alkisah diceritakan pada zaman dulu ada seorang sahabat dengan
anaknya yang berkeliling kota dengan seekor keledai. Mula-mula ayahnya
menunggangi keledai itu dan membiarkan anaknya berjalan kaki.Orang-orang yang
melihatnya pun berkata, “ Dasar orang tua
tidak tau diri, masak anaknya disuruh jalan kaki, sementara dia enak-enakan menunggangi
keledai?”..Menanggapi komentar seperti itu, mereka pun berganti posisi.
Kali ini anaknya yang duduk diatas keledai, sementara ayahnya berjalan kaki.
Melihat hal itu, orang-orang di jalan pun mengumpat, “ Dasar anak egois, masak dia membiarkan orangtuanya yang sudah renta
berjalan kaki, sedangkan dia enak-enakan menunggangi keledai”.
Merasa gerah dengan komentar-komentar tersebut, akhirnya
mereka berdua menunggangi keledai bersama-sama. Melihat kejadian itu, sontaklah
orang-orang yang disekitarnya pun mengecam, “
Dasar ayah dan anak yang tidak punya belas kasihan, tega-teganya mereka berdua
menunggangi keledai bersamaan kayak gitu.”
Merasa cape menanggapi ocehan dan komentar dari orang-orang
yang mereka temui di jalan, akhirnya mereka berdua pun jalan kaki dan
membiarkan keledainya berjalan tanpa tunggangan. Namun, melihat kejadian itu,
kali ini orang-orang pun bilang, “ Tu
Bapak ma anak sama-sama bodohnya. Ada keledai malah gak ditunggangi. Parah tu
mereka berdua”.
Satu hal penting yang dapat kita ambil pelajarannya dari
cerita di atas, yaitu bahwa apapun keputusan yang kita ambil pasti akan
mengundang pro dan kontra. Janganlah kita mengorbankan komitmen dan prinsip
yang kita anut hanya untuk memenuhi kemauan orang-orang disekitar kita.
Janganlah pula kita mengurangi ketegasan dalam mengambil keputusan hanya karena
ingin di bilang baik dan disukai semua orang. Semua itu tidak mungkin terjadi.
Kita tidak mungkin terus-menerus mengorbankan diri demi memenuhi tuntutan orang
dengan kemauan yang beragam dan cenderung subjektif. Pegang satu prinsip yang
benar dan tegas, pertahankan itu dan jangan pernah sekali pun menghiraukan
ocehan orang-orang yang kadang bicara seenak perutnya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar