goresan hidup seorang biduan

Rabu, 14 Desember 2011

kemiskinan dan penyebabnya

1. Apa itu kemiskinan dan apa penyebabnya?
2. Bagaimana kehidupan orang miskin?
3. Mengapa memerangi kemiskinan penting bagi setiap daerah?
4. Apa yang diperlukan daerah untuk memerangi kemiskinan?
5. Apa strategi dan kebijakan yang memihak kepada orang miskin?
6. Adakah contoh-contoh upaya penanggulangan kemiskinan yang
"sukses" dan "gagal"?
7. Bagaimana anggaran yang memihak kepada orang miskin?
8. Apa indikator keberhasilan penanggulangan kemiskinan?
9. Bagaimana memantau dan mengevaluasi upaya penanggulangan
kemiskinan?
1
6
9
10
12
18
22
29
33
d a f t a r i s i
Begitulah kata seorang miskin mengenai kemiskinan. Jadi,
kemiskinan merendahkan harkat dan martabat manusia, karena
itu memerangi kemiskinan harus menjadi prioritas utama upaya
pembangunan.
Apabila bangsa Indonesia berkeinginan memerangi kemiskinan, pertama-tama kita harus
memahami terlebih dulu apa yang dimaksud dengan kemiskinan dan penyebabnya.
Agar usaha penanggulangan kemiskinan berjalan dengan baik, efektif dan efisien, maka
perlu dirancang kebijakan yang tepat dengan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan, antara lain: pejabat pemerintah, anggota parlemen, Ornop (termasuk
LSM, lembaga-lembaga sosial dan keagamaan, partai politik), masyarakat madani, pihak
swasta dan masyarakat miskin itu sendiri. Serius atau tidaknya pemerintah, termasuk
pemerintah daerah, dalam menjalankan kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan dapat dilihat dari anggaran yang dialokasikan untuk membiayai upaya
penanggulangan kemiskinan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Aspek penting lainnya adalah bagaimana mengembangkan indikator-indikator
keberhasilan penanggulangan kemiskinan, serta pemantauan dan evaluasi terhadap
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan tersebut. Dengan demikian dapat
diketahui sejauh mana kebijakan dan program yang dijalankan mencapai tujuan dan
sasarannya. Setelah melakukan pemantauan dan evaluasi kita dapat memperbaiki dan
menyempurnakan kebijakan dan program agar proses dan hasil yang diperoleh semakin
baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Buku Paket Informasi Dasar Penanggulangan Kemiskinan ini dimaksudkan sebagai
informasi dan bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang bagaimana
merancang suatu kebijakan dan program pembangunan dengan anggaran yang
memihak pada orang miskin, mengembangkan indikator keberhasilan program, dan
melakukan pemantauan dan evaluasi. Bagi aktivis Ornop dan masyarakat, informasi ini
diharapkan dapat memperluas wawasan dan meningkatkan kerjasama mereka dalam
menggalang upaya penanggulangan kemiskinan. Dengan informasi ini diharapkan
semua pihak, terutama mereka yang bertanggungjawab dalam merancang dan
menjalankan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, akan memiliki
pemahaman dan pengertian yang lebih baik tentang kemiskinan dan upaya
penanggulangannya. KATA PENGANTAR
emiskinan adalah suatu keadaan ketika seseorang
kehilangan harga diri, terbentur pada ketergantungan,
terpaksa menerima perlakuan kasar dan hinaan, serta tak
dipedulikan ketika sedang mencari pertolongan"
K"
APA ITU KEMISKINAN DAN APA PENYEBABNYA?
PERTPERTPERTPERTPERTANYANYANYANYANYAAN IAAN I
Apa itu kemiskinan?
Pendapat mengenai apa itu kemiskinan amat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, hingga pengertian lebih luas
yang memasukkan komponen-komponen sosial dan moral. Misalnya ada pendapat bahwa
kemiskinan timbul karena adanya ketidakadilan dalam pemilikan faktor produksi; bahwa kemiskinan
terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat; atau bahwa
kemiskinan adalah ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan
oleh suatu pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi.
Yang terakhir ini lebih dikenal sebagai kemiskinan struktural (lihat Kotak1. Perkembangan
Definisi Kemiskinan).
Umumnya ketika orang berbicara mengenai kemiskinan maka yang dimaksud adalah kemiskinan
material. Dengan pengertian ini seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi
standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut
sebagai kemiskinan konsumsi (lihat Kotak 2. Cara Mengukur Kemiskinan Konsumsi).
Apakah mendefinisikan orang miskin hanya dari sudut pemenuhan konsumsi saja sudah cukup?
Jawabnya “tidak”. Memang definisi ini berguna dan akan terus dipakai untuk mengukur kemajuan
tingkat kesejahteraan, akan tetapi definisi itu sangat tidak memadai karena:
pengertian ini sering tidak berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud
oleh orang miskin itu sendiri, dan tidak cukup untuk memahami realitas kemiskinan;
dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan
cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai;
telah terbukti tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika harus merumuskan
kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontra produktif.
Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya bertalian dengan ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan material dasar. Kemiskinan juga terkait erat dengan berbagai
dimensi lain kehidupan manusia, misalnya kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan, dan
peranan sosial. Oleh sebab itu, kemiskinan hanya dapat dipahami secara utuh apabila
dimensi-dimensi lain dari kehidupan manusia juga diperhitungkan.
Kemiskinan merendahkan martabat: memulung sampah di sungai
1
PERKEMBANGAN DEFINISI KEMISKINAN
Bersamaan dengan bertambahnya pengetahuan tentang kemiskinan dan faktor-faktor penentunya, dalam
beberapa dekade terakhir ini pengertian kemiskinan telah bergeser. Misalnya, pada awal 1990an definisi
kemiskinan telah diperluas tidak hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi juga mencakup
ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Jadi dalam pengertian tersebut
telah diakui adanya interaksi dan hubungan sebab-akibat antara berbagai dimensi kemiskinan. Di
penghujung abad 20 telah muncul pengertian kemiskinan terbaru, yaitu bahwa di samping semua definisi
di atas kemiskinan juga mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan untuk
menyampaikan aspirasi (voicelessness).
Demikianlah, ternyata kemiskinan berwajah majemuk, berubah dari waktu ke waktu, atau dari satu
tempat ke tempat lain. Karena itu definisi kemiskinan yang memadai harus mencakup pengertian
kemiskinan yang memiliki berbagai dimensi, antara lain:
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan);
tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air
bersih, dan transportasi);
tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga);
kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal;
rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam;
tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat;
tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan;
ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah
tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).
Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS)
membuat perkiraan jumlah penduduk miskin
(dibedakan antara wilayah perdesaan,
perkotaan dan propinsi di Indonesia) dengan
berpatokan pada pengeluaran rumah tangga
menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi
Nasional). Penduduk miskin ditentukan
berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan
pokok, yang terdiri dari bahan makanan
maupun bukan makanan yang dianggap
‘dasar’ dan diperlukan selama jangka waktu
tertentu agar dapat hidup secara layak.
Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar
tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut
dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan:
biaya untuk memperoleh "sekeranjang" makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari; dan
biaya untuk memperoleh "sekeranjang" bahan bukan makanan yang dianggap "dasar", seperti pakaian,
perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan.
Walaupun sangat berguna untuk merancang kebijakan penanggulangan kemiskinan, pengukuran dengan cara ini
memiliki kelemahan karena jumlah penduduk miskin sangat peka terhadap garis kemiskinan dan tidak memberikan
informasi tentang kedalaman atau keparahan kemiskinan itu. Menurut BPS, garis kemiskinan pada tahun 1999
adalah Rp93.896/kapita/bulan untuk daerah perkotaan dan Rp73.898/kapita/bulan untuk daerah perdesaan.
CARA MENGUKUR KEMISKINAN KONSUMSI
Di bawah garis kemiskinan: sepiring nasi dan sepotong tempe
KO1TAK
2 KOTAK
2
Di Indonesia hingga saat ini kemiskinan masih terlihat di mana-mana, di desa, di kota, dan di
lingkungan sekitar kita. Jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan di Indonesia telah mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970, sekitar 68% penduduk Indonesia dikategorikan
miskin. Berbagai upaya pembangunan selama lebih dari dua dasawarsa berhasil menekan persentase
penduduk miskin menjadi 11% pada tahun 1996. Namun jumlah penduduk miskin kembali meningkat
setelah krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Menurut BPS, pada bulan Agustus 1999 jumlah
orang miskin menjadi 47,9 juta orang (23,4% dari total penduduk). Sekitar 15,6 juta orang berada
di kawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di perdesaan. Di samping itu masih ada sekitar 25%
penduduk Indonesia diperkirakan rentan terhadap kemiskinan. Hal ini berarti hampir separuh penduduk
Indonesia dapat dikategorikan sebagai miskin atau rentan terhadap kemiskinan. Krisis ekonomi telah
menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan, khususnya
di sektor formal, industri dan konstruksi. Upah di perkotaan juga lambat dalam menyesuaikan kenaikan
harga bahan makanan dan kebutuhan dasar lainnya karena adanya devaluasi dan inflasi. Akibatnya
penduduk miskin semakin terpuruk (lihat Kotak 3).
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)




























































JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI INDONESIA
(1976-1999)

Jumlah penduduk yang mengalami perubahan status kemiskinan -dari tidak miskin menjadi miskin, dan sebaliknya,
dari miskin menjadi tidak miskin- jauh lebih besar daripada perubahan yang tampak dalam tingkat kemiskinan.
Oleh karena itu, melihat perubahan dalam tingkat kemiskinan saja akan menimbulkan penilaian yang salah
mengenai dinamika kemiskinan yang sesungguhnya terjadi.
3 KOTAK
3
Apa Penyebab Kemiskinan?
Jawaban pertanyaan ini tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Ada banyak penyebab
kemiskinan, dan tak ada satu jawaban yang mampu menjelaskan semuanya sekaligus. Ini
ditunjukkan oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan
keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mencoba mencari penyebab kemiskinan. Tetapi
dapat kita simpulkan bahwa penyebab dasar kemiskinan antara lain:
kegagalan kepemilikan, terutama tanah
dan modal;
terbatasnya ketersediaan bahan
kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;
kebijakan pembangunan yang bias
perkotaan dan bias sektor;
adanya perbedaan kesempatan di
antara anggota masyarakat dan sistem
yang kurang mendukung;
adanya perbedaan sumber daya
manusia dan perbedaan antar sektor
ekonomi (ekonomi tradisional versus
ekonomi modern);
rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat;
budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber
daya alam dan lingkungannya;
tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance);
pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan
lingkungan.
Pembangunan bias perkotaan:
salah satu penyebab kesenjangan sosial
Sanitasi: kemewahan yang tak terjangkau oleh si miskin
4
Kenyataan kasat mata -yang juga didukung oleh suara mereka yang miskin- menunjukkan
bahwa kemiskinan disebabkan:
Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar,
termasuk:
modal sumberdaya manusia, misalnya pendidikan formal, keterampilan, dan
kesehatan yang memadai;
modal produksi, misalnya lahan, dan akses terhadap kredit;
modal sosial, misalnya jaringan sosial dan akses terhadap kebijakan dan keputusan
politik;
sarana fisik, misalnya akses terhadap prasarana dasar seperti jalan, air bersih, listrik;
termasuk hidup di daerah yang terpencil.
Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan karena:
krisis ekonomi;
kegagalan panen karena hama, banjir atau kekeringan;
kehilangan pekerjaan (PHK);
konflik sosial dan politik;
korban kekerasan sosial dan rumah tangga;
bencana alam (longsor, gempa bumi, perubahan iklim global);
musibah (jatuh sakit, kebakaran, kecurian atau ternak terserang wabah penyakit).
Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam
institusi negara dan masyarakat karena:
tidak ada kepastian hukum;
tidak ada perlindungan dari kejahatan;
kesewenang-wenangan aparat;
ancaman dan intimidasi;
kebijakan publik yang tidak peka dan tidak
mendukung upaya penanggulangan
kemiskinan;
rendahnya posisi tawar masyarakat miskin.
Air bersih: hak setiap manusia
5
DELAPAN CIRI
RUMAH TANGGA
MISKIN
BAGAIMANA KEHIDUPAN ORANG MISKIN?
Selama krisis ekonomi berlangsung peningkatan jumlah penduduk miskin dan mereka yang
sangat terpukul akibat dampak krisis paling banyak ditemui di kawasan perkotaan. Namun sekitar
65% - 75% penduduk miskin di Indonesia berada di kawasan perdesaan. Dua per tiga dari
penduduk miskin di perdesaan ini menyandarkan hidup mereka pada kegiatan dan hasil pertanian.
Keadaan mereka diperburuk oleh fakta bahwa hingga saat ini kualitas sumber daya manusia di kawasan
perdesaan masih sangat terbatas. Lebih dari 90% penduduk desa hanya memiliki tingkat pendidikan
sekolah dasar, bahkan kurang dari itu. Hal ini mendesak perlunya strategi peningkatan kualitas sumber
daya manusia di tingkat perdesaan dan strategi untuk pembangunan perdesaan.
Potret kemiskinan berikut ini hanyalah sekilas cermin bahwa kemiskinan baik di perkotaan maupun
di perdesaan dapat dialami dalam berbagai dimensi dan karena itu harus ditinjau dan ditanggulangi
dari dimensi yang majemuk pula.
Ibu Juariyah, janda berumur 65 tahun, tinggal sendirian di rumahnya
yang terbuat dari bilik di Desa Kebon Baru, Kec. Sumbersari, Jember.
Meskipun sudah tua, ia harus mencari nafkah sendiri. Dulu, waktu masih
muda dan kuat, ia bekerja di gudang tembakau dengan upah Rp8.000
per hari. Sekarang, ia hanya bisa bekerja sebagai tenaga borongan
dengan penghasilan Rp1.000 per hari. Hidup Ibu Juariyah sangat sulit.
Pada musim panen ia terpaksa berjalan jauh untuk mengasak, yaitu
mengumpulkan sisa-sisa padi di sawah yang baru dipanen untuk
memenuhi kebutuhan berasnya selama beberapa hari.
PERTPERTPERTPERTPERTANYANYANYANYANYAAN 2AAN 2
PROFIL ORANG MISKIN
VARIABEL
Luas Lantai
Jenis Lantai
Air Bersih
Jamban
Asset
Lauk Pauk
Kegiatan Sosial
Membeli Pakaian
KRITERIA MISKIN
< 8 m2 per kapita
Tanah
Air Hujan/Sumber Tidak Terlindung
Tidak Punya
Tidak Punya
Tidak Ada/Ada Tidak Bervariasi
Tidak Pernah
Tidak Pernah
Pemukiman kumuh: dampak urbanisasi
Lantai tanah dan tak ada jendela:
Sehatkah ini?
4 KOTAK
KO5TAK
6
Pada tahun 1997 dengan modal Rp25.000 per hari Entin (36 tahun), seorang ibu dengan enam anak yang
tinggal di Soreang, Jawa Barat, membuat 1.000 buah kue “kroket.” Sebelum fajar menyingsing Entin sudah
mengantar penganannya ke pedagang di pasar dengan harga Rp35/buah. Hasil penjualannya tidak pernah
mencapai Rp35.000, karena setiap hari rata-rata terdapat 75 buah kroket yang rusak. Keuntungan Entin
hanya sekitar Rp7.375, padahal untuk membuat 1.000 kroket itu dia harus bekerja 15,5 jam/hari. Namun
bagaimanapun, hasil itu masih lebih besar dari pada pendapatan suaminya yang buruh bangunan harian
dengan upah Rp5.000/hari.
Jadwal kerja harian Entin adalah sebagai berikut:
08.00 - 10.00 Ke pasar membeli bahan
10.00 - 12.00 Istirahat/urusan rumah tangga
12.00 - 18.00 Membuat 1.000 kroket
18.00 - 21.00 Istirahat (tidur)/urusan rumah tangga
21.00 - 03.00 Menggoreng kroket
03.00 - 04.30 Mengantar kroket ke pasar
04.30 - 06.00 Istirahat (tidur)
06.00 - 08.00 Urusan rumah tangga
Konflik politik dan sosial sangat potensial sebagai penyebab kemiskinan dan menurunnya martabat manusia.
Sebagai contoh, menjelang dan setelah kemerdekaan Timor Timur, wilayah NTT harus menerima limpahan
pengungsi dari Timor Timur. Di sekitar Kota Kupang para pengungsi itu ditampung di gubug sederhana
dari pelepah pohon Gewang, sejenis pohon palma yang banyak tumbuh di NTT. Selama mengungsi
hidup mereka tergantung pada bantuan sembako dari pemerintah, meskipun ada beberapa yang berjualan
sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Di Desa Umaklaran, dekat Atambua di Kabupaten Belu yang letaknya terdekat dengan wilayah Timor
Timur, para pengungsi ditampung di rumah-rumah keluarga, sebagian di kantor desa atau di gedung
sekolah, tetapi ada pula yang terpaksa bertahan di pekarangan penduduk setempat atau di bawah pohon
tanpa atap pelindung.
Sekitar pertengahan bulan September 1999, persediaan makanan mereka sudah menipis. Mereka hanya
dapat mengisi perut dengan selapan segan, bahan makanan dari tepung kasar jagung kering. Ini adalah
cadangan terakhir makanan keluarga yang biasanya baru dimakan jika sudah kehabisan bahan makanan
lainnya. Seorang pengungsi berkata: “Di kampung asal kami sebenarnya stok jagung cukup untuk kebutuhan
hidup setahun, tetapi bahan makanan dan barang lainnya tidak sempat diangkut karena kendaraan sulit
dan keadaan tidak aman".
KERJA KERAS PENGHASILAN KECIL
NASIB PENGUNGSI KORBAN KONFLIK POLITIK
Fasilitas pasar di desa: masih jauh panggang dari asap
7 KOTAK
KO6TAK
7
Kebanyakan penghuni kampung-kampung miskin di Jakarta hidup
berdesakan dengan kondisi jauh dari sehat. Tidak jarang seluruh anggota
keluarga, ditambah sanak saudara, tinggal dalam satu kamar. Mereka
menyewa bulanan dari keluarga yang keadaan ekonominya lebih baik.
Sewanya murah, tetapi di rumah sewaan seperti itu nyaris tak ada privasi,
juga tak ada dapur atau kamar mandi yang memadai. Mereka masak,
memandikan bayi, dan "ngerumpi" dengan tetangga di depan pintu rumah
atau di gang kampungnya.
Rumah Mbok Inem terletak di ujung gang yang berliku-liku di salah satu
kampung miskin di Kelurahan Cipinang, Jatinegara, persis di pinggir Sungai
Cipinang, di atas lahan yang bukan diperuntukkan untuk pemukiman.
Beberapa tahun yang lalu keluarga Mbok Inem pindah ke kampung ini dalam keadaan putus asa setelah
rumah beserta seluruh hartanya habis dilalap si jago merah.
Rumah Mbok Inem yang berbilik dua dibangun dari bahan
bangunan bekas, sisa-sisa kayu, bilik bambu, dan besi
rongsokan, sementara lantainya dari tanah. Beberapa
meter dari pintu rumah mereka ada MCK umum yang
baru dibangun, lengkap dengan keterangan biaya yang
ditulis besar. Di belakang rumahnya mengalir Sungai
Cipinang yang dipenuhi sampah, airnya hitam keruh, dan
berbau busuk menyengat. Juga di tepi kali itu ada sederet
‘MCK’ dari bilik bambu. Belakang rumah Mbok Inem penuh
gunungan sampah penduduk yang membusuk. Sungai
Cipinang selalu banjir, kadang-kadang 3 atau 4 kali
setahun. Biasanya datangnya mendadak, menerjang ke
dalam rumah, airnya mencapai ketinggian satu meter,
bau dan sarat dengan sampah.“Tahun ini kami masih
untung karena hanya kena banjir sekali,” kata Mbok Inem
dengan wajah pasrah, sambil menunjuk ke bekas batas
banjir di dinding rumahnya.
Kemiskinan dan lingkungan yang menekan tampak jelas
dalam kehidupan keluarga Mbok Inem, namun
kelihatannya mereka santai saja. Mereka sudah punya
beberapa perabot rumah tangga, TV bekas, dan satu
mesin jahit tua. Mereka juga memelihara ayam di belakang rumah, dan
beberapa cucunya sekolah di SD setempat. Makanan seadanya tersedia di
meja. Tetapi tampaknya di rumah itu tidak ada kepala keluarga laki-laki yang
mencari nafkah - suami Mbok Inem meninggal beberapa tahun yang lalu,
menantu laki-lakinya pengangguran, hanya mendapat penghasilan kecil dari
komisi menjual barang di perempatan jalan di Jakarta yang padat lalu lintas.
Bagaimana mereka dapat bertahan hidup? Ternyata Mbok Inem dan anak
perempuannya sangat kreatif dalam mencari nafkah. Setiap hari mereka
menghabiskan banyak waktu mengumpulkan pakaian bekas dari
tetangganya di Jatinegara yang keadaannya lebih mampu. Di atas lantai
tanah terlihat tumpukan pakaian bekas. Pakaian bekas itu kemudian dipilih,
dicuci, dan diperbaiki supaya bisa dijual lagi dengan harga murah. Misalnya
pakaian anak-anak bisa laku Rp500 per potong. Masa depan mereka masih
suram, tetapi keluarga ini tidak melepaskan harapan mereka.
HIDUP DI PINGGIR SUNGAI DI JAKARTA
Inikah "Home sweet home?"
Anak-anak: berikan mereka
pilihan yang lebih baik
Fasilitas MCK:
bisa jadi sumber penghasilan
8 KOTAK
8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar